Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendapat Ulama

Setiap perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan kelak di hari akhir sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kamu pada mulanya, dan apa yang telah Kami karuniakan kepadamu, kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia). Kami tidak melihat pemberi syafaat (pertolongan) besertamu yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu (bagi Allah). Sungguh, telah terputuslah (semua pertalian) antara kamu dan telah lenyap dari kamu apa yang dahulu kamu sangka (sebagai sekutu Allah).” (QS. Al-An’am 6 :  94).

Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda yang artinya, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.”( HR. Tirmidzi).

Maka selayaknya seorang muslim melakukan perbuatannya di dunia sesuai tuntunan Hukum Syariat agar kelak ia akan mendapatkan jalan yang mudah dalam pertanggungjawaban amalnya.

Salah satu kaedah hukum dalam Islam menyebutkan bahwa hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariah atau al-ashlu fî al-af’âl at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar’iy. Hal ini menjadikan setiap perbuatan manusia memiliki salah satu nilai hukum, yakni wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.

Hendaknya seorang mukmin menjalankan perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya, yakni perbuatan yang memiliki hukum Wajib dan sunah serta menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yakni perbuatan yang bernilai makruh dan haram serta melakukan perbuatan mubah seperlunya untuk menyelesaikan keperluan hidupnya, seperti makan, tidur, dan sebagainya.

Bagaimana seseorang tahu hukum atas perbuatan – perbuatan yang dilakukannya tersebut ?

Allah ta’ala telah menurunkan ayat – ayat serta Rasul – rasul-Nya untuk memberi petunjuk bagi manusia sehingga kaum muslimin mengenal empat sumber hukum syara, yakni Al Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas. Namun seorang muslim dilarang menafsirkan sendiri keempat hal tersebut secara serampangan.

Dibutuhkan seseorang dengan kompetensi keilmuan yang memenuhi syarat untuk memahami seruan – seruan syara’ yang tertera pada empat sumber hukum syara’ tersebut, maka fardlu kifayah pada setiap jaman ada mujtahid yang dapat berijtihad untuk membantu kaum muslimin memahami seruan – seruan Allah ta’ala dan Rasul-Nya.

Pada dasarnya, Allah ta’ala tidak memerintahkan kaum muslim untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid. Akan tetapi, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk memahami dan mengambil hukum syariat, bukan yang lain. Allah ta’ala juga memerintahkan kita untuk mengambil semua ketentuan yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman yang artinya, “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”(QS Al-Hasyr: 7).

Berdasarkan ayat ini, seorang muslim tidak diperbolehkan secara syar’i mengikuti seseorang selain Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Namun karena keterbatasan keilmuanya seorang muslim tidak mampu berijtihad sendiri untuk mengetahui hukum – hukum yang diserukan Allah dan Rasul-Nya sehingga ia harus taklid (mengikuti) ijtihad dari seorang mujtahid (ulama) sebagaimana perintah Allah ta’ala Wa mā arsalnā ming qablika illā rijālan nụḥī ilaihim fas`alū ahlaż-żikri ing kuntum lā ta'lamụn yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl : 43)

Semua ini semata-mata dilakukan karena keterbatasan dan ketidakmampuan seorang muslim dalam menggali hukum syariat langsung dari dalil-dalil syariat. Kita mengenal Imam Syafi’iy (Syafi’iyah), Imam Abu Hanifah (Hanafiyah), Imam Malik (Malikiyah), Imam Ibnu Hanbal (Hanabilah) dan sebagainya sebagai ulama rujukan untuk memahami hukum – hukum perbutan manusia berdasarkan fiqh Islam.

Apa Itu Ijtihad dalam Islam?

Secara harfiah, kata ijtihad berasal dari akar kata “al-jahd” atau “al-juhd,” yang berarti “upaya keras” atau “kesulitan.” Dalam konteks hukum Islam, istilah ini menggambarkan usaha intelektual maksimal yang dilakukan oleh seorang ahli (mujtahid) untuk menentukan hukum suatu masalah berdasarkan prinsip syariah.

Ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Allah ta’ala berfirman pada surat An-Nisa ayat 105:

إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚوَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًا

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat.”

Selain Al-Qur’an, dasar ijtihad juga terdapat dalam hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

Artinya: “Apabila seorang hakim menetapkan hukum lalu ia berijtihad, dan ijtihad-nya benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ijtihad-nya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Abu Dawud)

Ijtihad dilakukan oleh mujtahid (ulama) yang memilki kompetensi keilmuan dalam agama Islam. Adapun syarat seorang bisa berijtihad adalah

1. Menguasai Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an

2. Mengetahui Hadis yang Berkaitan dengan Hukum

3. Mengetahui Objek Ijma’

4. Memahami Qiyas dan Tekniknya

Qiyas atau analogi adalah metode penting dalam ijtihad. Seorang mujtahid harus tahu bagaimana menerapkan qiyas, kapan cara ini bisa digunakan, dan apa saja alasan hukum yang relevan. Pemahaman ini sangat krusial dalam proses ijtihad.

5. Menguasai Bahasa Arab

Bahasa Arab merupakan bahasa Al-Qur’an dan Hadis. Dengan menguasai bahasa ini, seorang mujtahid dapat memahami secara langsung sumber hukum Islam dan memastikan interpretasinya secara akurat.

6. Mengetahui Nasikh Mansukh

Nasikh-mansukh merupakan konsep di mana ayat atau hadis yang lebih baru menggantikan yang lama jika ada kontradiksi. Seorang mujtahid perlu memahami ini untuk menghindari penerapan hukum yang tidak sesuai.

 

Khatimah

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Artinya : “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.”  (Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud)

Ulama adalah pewaris nabi, terlepas beliau merupakan keturunan nabi atau bukan, namun dengan kealimannya (keluasan ilmunya) serta ketaatannya pada Allah dan Rasulullah maka ulama menjadi tempat bertanya bagi ummat tentang urusan agama dan kehidupan ini.

Maka seorang muslim yang awam (mukalid) cukup mengikuti (taklid) pada ijtihad (pendapat) para mujtahid (ulama) perihal hukum – hukum fiqh tentang perbuatan manusia, termasuk perbuatan kontemporer yang adanya di masa – masa modern ini, seperti hukum bayi tabung, operasi plastik, rokok, sound horeg dan lain sebagainya.

Kita taati fatwa ulama berkaitan hukum – hukum fiqh tersebut. Jika ada perbedaan pendapat ulama berkaitan topik – topik tertentu, maka setiap muslim bisa memilih salah satu pendapat ulama. Perbedaan pendapat bisa menjadi bahan diskusi tapi tidak untuk diperdebatkan yang menyebabkan perpecahan diantara ummat Islam. Sungguh yang lebih utama adalah istiqomah beramal dengan pendapat ulama yang dipilih.

Wallahu a’lam bi ashowab.

Posting Komentar untuk "Pendapat Ulama"