Hakikat Agama
Dua
orang telah mengajukan permohonan pengujian
materiil terhadap 5 ketentuan. Pertama, Pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (HAM).
Kedua, Pasal 61 ayat
(1) dan Pasal 64 ayat (1) UU No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah
dengan UU No.24 Tahun 2013. Ketiga, Pasal
2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.16 Tahun 2019.
Keempat, Pasal 12 ayat
(1) dan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UU No.20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Kelima, Pasal 302 ayat (1) UU No.1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Mahkamah
diminta menyatakan ketentuan ini inkonstitusional “Sepanjang kata agama dan
‘kepercayaan’ tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada,” begitu bunyi penggalan
petitum permohonan yang teregistrasi No.146/PUU-XXII/2024 itu.
Namun hakim
MK yang menyidangkan perkara menolak secara keseluruhan permohonan. Dalam pertimbangan hukumnya, mahkamah berpendapat
konsep kebebasan beragama yang dianut oleh konstitusi dan diterapkan dalam
hukum positif di Indonesia bukanlah kebebasan yang memberikan ruang bagi warga
negara untuk tidak memeluk agama atau tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. (https://www.hukumonline.com, tanggal 6 Januari 2025).
Permohonan penghapusan kata “agama” dan “kepercayaan” ini sungguh usaha
yang mengejutkan dan memprihatinkan. Nampaknya pemahaman agnostik telah menjadi
fenomena pada sebagian masyarakat. Agnostik atau agnostisisme adalah pemikiran yang
meyakini adanya Tuhan namun tidak memiliki keyakinan atas suatu agama sehingga
tidak beramal dalam agama tertentu.
Menurut Dr. Ustadi Hamsah, S.Ag., M.Ag., Virus ini ditengarai sebagai
bentuk laten dari cara pandang dan kebijakan yang berusaha menjauhkan dari
nilai-nilai ketuhanan dan agama. Sebab agnostisisme merupakan sebuah pandangan
yang mengatakan bahwa kebenaran tertinggi tidak dapat diketahui dan mungkin
tidak akan dapat diketahui. (https://muhammadiyah.or.id)
Islam Menjawab
Fenomena modernisme yang mengarah pada pemikiran sekuler, pluralis dan
sinkritis telah melahirkan “kegelisahan” di tengah masyarakat. Di era yang
serba teknologi ini, berkeyakinan dianggap bukan semata pilihan privasi
individu, tapi bagian dari gaya hidup (lifestyle) belaka. Berbeda dengan zaman dulu,
orang memeluk suatu agama sebagai pilihan sosial yang membanggakan.
Bagi sebagian orang hari ini agama cukup sebagai identitas untuk
kepentingan kependudukan. Just for identity. Mereka lebih menyukai
menjadi orang yang meyakini Tuhan tanpa amalan agama. Ya, hanya percaya sama
Tuhan, an sich. Agama dianggap kurang penting atau bahkan tidak penting, bahkan
diopinikan sebagai bagian dari masalah karena perbedaan agama terkadang
menyebabkan perselisihan.
Sungguh hidup tanpa agama adalah ibarat kapal tanpa nahkoda,
tidak jelas arah dan tujuannya, mudah terombang-ambing oleh ombak, dan akhirnya
karam. Allah ta’ala menurunkan Islam sebagai petunjuk kehidupan bagi
manusia sebagaimana firman-Nya dalam QS Al Fath : 28 yang artinya,”Dialah
yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.”
Para ulama
menjelaskan bahwa agama ini adalah jalan yang haq untuk memperoleh kebaikan di
dunia dan di akhirat kelak. Menukil tulisan Mashun Adib,
bahwa menurut
Imam Asy-Syatibi maqashid syariah atau tujuan agama memiliki 5 hal inti yaitu :
1)
Hifdzu Ad-Diin (حـفـظ الـديـن) atau Menjaga Agama
Syariah Islam menjaga kebebasan berkeyakinan dan beribadah, tidak
ada pemaksaan kehendak dan tidak ada tekanan dalam beragama. Allah ta’ala berfirman
dalam QS Al-Baqarah ayat 256, artinya “Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat”
2)
Hifdzu An-Nafs ( حـفـظ النــفـس) atau Menjaga Jiwa
Al-Qur’an juga menjelaskan agar umat manusia dapat memelihara
jiwanya. QS Al-Furqan: ayat 68, artinya, “Dan orang-orang yang tidak
menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia akan mendapat dosa”
3)
Hifdzu Aql ( حـفـظ العــقل ) atau Menjaga Akal
Akal adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya. Inilah salah satu yang menyebabkan manusia menjadi makhluk dengan
penciptaan terbaik dibandingkan yang lainnya. Akal akan membantu manusia untuk menentukan
mana yang baik dan buruk. Penghargaan Islam terhadap peran akal
terdapat pada orang yang berilmu, yang mempergunakan akal-nya untuk memikirkan
ayat-ayat Allah.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS Ali-Imran ayat 190-191
yang artinya,“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal
(190), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka)
4)
Hifdzu An Nasl ( حـفـظ النـسـل ) atau Menjaga Keturunan
Kemaslahatan utama yang dilindungi syariat melalui poin ini adalah
keberlangsungan suatu generasi manusia, untuk mencegahnya dari kepunahan,
dengan upaya-upaya yang mengacu pada kebaikan di dunia dan akhirat.
Salah satu poin penting dalam sebuah pernikahan adalah lahirnya generasi
penerus yang diharapkan dapat berkontribusi lebih baik. Keturunan menjadi
penting, salah satu yang mencelakai penjagaan keturunan adalah dengan melakukan
zina.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman secara tegas mengenai zina yaitu
pada QS An-Nur ayat 2 yang artinya “Pezina perempuan dan pezina
laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum)
Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang
beriman.”
5)
Hifdzu Al Maal ( حـفـظ المــال ) atau Menjaga Harta
Pembahasan perkara harta lebih ke arah interaksi dalam muamalah.
Menjaga harta adalah dengan memastikan bahwa harta yang kamu miliki tidak
bersumber dari yang haram. Serta memastikan bahwa harta tersebut didapatkan
dengan jalan yang diridhai Allah bukan dengan cara bathil sebagaimana
difirmankan Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 188 artinya, “Dan janganlah sebahagian
kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui”
Khatimah
Setiap
manusia secara fitrah memiliki Gharizatu Tadayyun atau naluri beragama. Meyakini
keberadaan Tuhan tidaklah sempurna tanpa memilih salah satu agama karena tiap
agama memiliki tata cara peribadatan yang berbeda untuk menyembah Tuhannya.
Tata cara ini tidak mungkin dikarang – karang, oleh karena itu seseorang harus
memilih salah satu agama dan beristiqomah dengan ketentuan agama tersebut
sebagai bagian peribadatan dan ketaatan pada Tuhannya.
Dan
Islam adalah Agama yang mulia nan sempurna yang telah memberikan panduan bagi
manusia tentang cara beribadah pada Tuhan (Allah ta’ala), tata cara
berinteraksi dengan sesama manusia serta tata cara mengelola hak diri atau
hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Maka marilah kita beristiqomah di
jalan agama ini sebagai panduan kehidupan yang niscaya menghadirkan
kemaslahatan atau kebaikan (rahmat) bukan hanya bagi sesama muslim namun bagi
seluruh alam semesta (QS. Al Anbiya:107)
Posting Komentar untuk "Hakikat Agama"