Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

IJMA' SAHABAT

Islam adalah agama yang terbangun di atas dasar ilmu. Agama ini membina pemeluknya untuk tidak berkeyakinan maupun beramal dalam urusan agama, melainkan dengan ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan, memiliki pondasi dan dasar yang sah, dan dapat dipastikan melalui jalur wahyu. Argumen dan alasan beragama tersebut dikenal sebagai dalil.

Dalil dalam Islam pada dasarnya adalah wahyu Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam (sabda, perbuatan, dan pengakuannya) yang telah dikukuhkan oleh Al Quran sebagai dasar agama yang sepadan dan seiring dengannya, dan sama sekali tak bertentangan. Di bawah itu terdapat dalil-dalil lain yang diakui oleh Al Quran dan Sunnah, yaitu ijma’ dan qiyas.

Ijma’, secara etimologi berasal dari kalimat ajma’a - yujmi’u- Ijma’an yang memiliki dua makna. Pertama. Ijma’ secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat. Kedua. Ijma’ secara etimologi juga memiliki makna sepakat. Jika dikatakan “ajma’ muslimun ‘ala kadza”, berarti mereka sepakat terhadap suatu perkara, seperti sabda Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam: Allah tidak akan menyatukan umat ini di atas kesesatan untuk selamanya.(HR. Al Hakim)

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menetapkan makna Ijma’ menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma’. Salah satu definisi al-ijmâ’ (ijma’) adalah kesepakatan atas hukum kejadian yang terjadi bahwa itu merupakan hukum syariah. 

Adapun pijakan dan landasan Ijma’ dari Al-Qur`ân sangat banyak, antara lain Allah ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai….” (QS. Al Imran : 103)

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. “ (QS. An Nisaa : 115)

Ijma’ menurut Pandangan hadits Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam diantaranya, dari ‘Umar bin Khaththab berkata bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ أَرَادَ بِحَبْحَةِ الْجَنَّةِ فَعَلَيْهِ بِالْجَمَاعَةِ

Artinya : “Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian, namun ia lebih jauh dari yang berdua. Dan barang siapa yang menginginkan tinggal di tengah-tengah kebun maka hendaklah bersama jamaah.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi)

sabda Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam :

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم عَلَى ضَلاَلَةٍ 

Artinya : “Tetaplah kalian bersama jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad di atas kesesatan.” (HR. Imam Ath Thabrani)

Dari Tsauban, bahwasanya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ .

Artinya : “Akan selalu muncul dari umatku sekelompok kaum yang tetap berada di atas kebenaran, tidak mampu menimpakan bahaya orang-orang yang merendahkan hingga datang perkara Allah, mereka dalam keadaan demikian.” (HR. Bukhari)

Imam Nawawi berpendapat bahwa Hadits ini menjadi dasar paling kuat bahwa Ijma’ adalah hujjah, sehingga hadits ini menjadi landasan Ijma’ paling shahîh.

Kemudian hadits dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ .

Artinya, “Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan.” (HR. Ibnu Majah)

Ada sedikit perbedaan ulama berkaitan denga ijma ini. Sebagian ulama menetapkan ada Ijma’ setelah para sahabat. Sedangkan Dâwud bin ‘Ali azh-Zhahiri, dan Ibnu Hazm, Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Ijma hanya ijma’ para sahabat.

Berdasarkan metode terjadinya, ijma’ (sahabat) terbagi dua, yakni pertama :  Al-Ijmâ’ ash-sharîh adalah jika para sahabat sama-sama menyatakan bahwa hukum masalah begini adalah begini. Atau jika disodorkan kepada para sahabat suatu perkara atau kejadian, sementara mereka tidak menyebutkan nash al-Quran dan tidak meriwayatkan nash hadits yang menyangkut perkara atau kejadian itu, kemudian mereka mengatakan bahwa hukum perkara tersebut atau hukum kejadian tersebut adalah begini, dan hukum yang mereka katakan adalah sama, maka hukum tersebut merupakan Ijmak Sahabat yang shârih. Artinya, hukum tersebut merupakan hukum syariah dengan bersandar pada dalil yang berasal dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. yang tidak mereka riwayatkan atau tidak mereka katakan satu kepada yang lain, sebab dalil itu sudah sama-sama mereka ketahui.

Kedua al-ijmâ’ as-sukûtî adalah ketika salah seorang sahabat berpendapat atau mengatakan suatu hukum atas satu perkara atau kejadian, sementara hal itu diketahui oleh para sahabat lainnya dan tidak ada seorang pun dari sahabat yang mengingkarinya. Dengan demikian diamnya mereka itu merupakan ijmak. Artinya, diamnya mereka itu merupakan ijmak bahwa hukum syariah atas perkara atau kejadian tersebut adalah begitu. Disebut al-ijmâ’ as-sukûtî sebagai kebalikan dari al-ijmâ’ al-qawlî.

Begitu pula jika para sahabat bersepakat atas suatu pendapat dalam satu peristiwa, maka kesepakatan mereka atas hukum syariah dalam peristiwa itu adalah begini merupakan al-ijmâ’ as-sukûtî.

Demikian juga jika salah seorang sahabat berpendapat atas hukum suatu masalah, sementara hal itu diketahui oleh para sahabat lainnya, tetapi tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Dengan demikian ijmak mereka dengan diamnya mereka itu merupakan ijmâ’ sukûtiy.

Di antara contoh Ijma’ Sahabat:

1.      Kakek berhak mewarisi bersama dengan adanya anak dari almarhum  jika tidak ada bapak dari almarhum.

2.      Saudara-saudara kandung (seibu sebapak) dan saudara sebapak terhalang menerima waris jika ada bapak.

3.      Salat tarawih dilakukan 23 rakaat secara berjamaah

 

Khatimah

Imam asy-Syafi’i berkata: “Sumber ilmu ada empat, yaitu: al-Kitab, Sunnah, Ijma’ atau Qiyas.” Sungguh keempat sumber di atas saling bersesuaian dan tidak ada pertentangan, karena antara yang satu dengan lainnya saling membenarkan dan saling menguatkan. Keempat nash tersebut adalah sumber hukum syara.

Namun seorang muslim tidak boleh menggunakan nash – nash tersebut secara serampangan tanpa ilmu yang memadai. Oleh karena itu seorang muslim di kalangan mukalid atau awam tidak boleh menafsirkan sendiri dalil – dalil tersebut. Kaum muslimin dapat memahami nash – nash tersebut melalui pemahaman (hasil ijtihad) para mujtahid (ulama).

Pemahaman ulama ini merupakan pemahaman (mafahim) Islam. Melalui ijtihad para ulama inilah kaum muslimin dapat mengetahui hukum – hukum dan tata cara sholat, zakat, munakahat, dan syariat – syariat lainnya.

Pemahaman Islam inilah yang kemudian menjadi rujukan tingkah laku sehari – hari, bukan sekedar menjadi pengetahuan belaka. Berdasarkan pemahaman Islam seorang muslim melaksanakan perintah yang memiliki hukum wajib atau sunnah, meninggalkan larangan yang berstatus haram atau makruh serta melakukan perbuatan mubah sesuai kebutuhan tanpa melalaikan amal wajib dan sunnah.

Wallahu a’lam bi ashawab.

Posting Komentar untuk "IJMA' SAHABAT"