KEBAIKAN ADALAH APA YANG DIRIDLOI ALLAH
Perbuatan manusia adalah hal yang selalu menarik untuk dikaji karena setiap manusia yang hidup pasti beraktivitas, sejak ia bangun di pagi hari hingga tidur kembali di malam hari. Setiap hari manusia melakukan perbuatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan naluri maupun kebutuhan jasmani.
Manusia tidak hidup di ruang hampa namun manusia adalah makhluq
sosial yang hidup berdampingan satu dengan yang lain. Setiap hari melakukan
usaha untuk memenuhi hajat hidupnya. Beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya.
Persamaan problem kadang melahirkan kolaborasi namun tidak jarang melahirkan
kompetisi diantara manusia. Maka dibutuhkan aturan yang standar agar kompetisi
berjalan secara fair dan kolaborasi yang terjadi ditujukan untuk mendapatkan
kebaikan bersama.
Di sisi lain perbedaan pengalaman hidup dan perbedaan pengetahuan
menyebabkan perbedaan perspektif diantara individu – individu yang hidup
berdampingan. Perbedaan perspektif ini secara lumrah akan melahirkan perbedaan
standar atau perbedaan ukuran bagi setiap individu. Hal yang baik menurut satu
pihak belum tentu baik menurut pihak yang lain. Maka dibutuhkan standar bersama
sebagai rujukan baik buruk.
Islam telah
menetapkan standar bagi manusia untuk menilai segala sesuatu, sehingga dapat
diketahui mana perbuatan yang terpuji yang harus segera dilakukan, dan mana
perbuatan tercela yang harus segera ditinggalkan. Para ulama telah merumuskan
sebuah kaedah berpikir dalam Islam :
الْخَيْرُ مَا أَرْضَى اللَّهَ، وَالشَّرُّ مَا أَسْخَطَهُ
Artinya : Baik adalah apa yang dirdloi Allah swt ; Buruk adalah
hal yang dimurkai Allah ta’ala
إِنَّ الْحَسَنَ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ، وَإِنَّ
الْقَبِيحَ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ
Artinya : Terpuji adalah apa yang dipuji syariat (Islam) ; tercela
adalah apa yang dicela syariat (Islam)
Kaedah di atas memberikan pelajaran bahwa kebaikan adalah hal yang
diridloi Allah ta’ala, sebaliknya keburukan adalah hal yang dimurkai Allah ta’ala.
Bagaimana kita mengukur keridloan Allah ?
Bukankah Allah ta’ala tidak terlihat ?!
Bukankah kita tidak bisa berinteraksi langsung atau berdialog
denga Allah ta’ala ?
Allah ta’ala memang tidak terlihat dan manusia tidak bisa
berinteraksi langsung dengan Tuhannya. Namun Allah ta’ala telah memberi
petunjuk melalui Rasul – Nya.
Allah ta’ala berfirman yang artinya :
”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS. Al Ahzab : 40)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya” (QS. Al Fath 29)
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya : 107)
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama
yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai
saksi.” (QS Al Fath 28)
Ayat – ayat di atas memberikan petunjuk bahwa Allah ta’ala telah
mengutus RasulNya Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam, dengan penjelasan yang
terang dan agama Islam. Allah lah yang mengutus Rasul-Nya Muhammad Shalallahu
Alaihi wa Sallam dengan keterangan yang jelas dan agama kebenaran yaitu Islam.
Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah utusan
Allah ta’ala yang membawa syariat aturan yang merupakan petunjuk kehidupan
manusia. Maka disebutkan pada kaedah di atas bahwa “Terpuji adalah apa yang
dipuji syariat (Islam) ; tercela adalah apa yang dicela syariat (Islam)”
Allah ta’ala ridlo jika menetapkan suatu perbuatan memiliki nilai
hukum wajib, sunnah atau minimal mubah (boleh). Jika manusia melakukan
perbuatan dengan nilai – nilai tersebut untuk mendekatkan diri pada Allah (taqarub
ilallah) maka niscaya akan mendapat balasan kebaikan dari Allah ta’ala.
Sebaliknya kemurkaan Allah ta’ala terlihat pada larangan –
laranganNya, baik yang bernilai haram atau makruh. Jika seorang individu
melakukan perbuatan keharaman atau larangan yang bernilai makruh maka ia akan
mendapatkan celaan di sisi Allah ta’ala.
Jadi Standar perbuatan itu tidak lain adalah syariat. Standar ini bersifat
permanen, apa yang dinyatakan terpuji oleh syara’, selamanya akan terpuji,
begitu pula yang dicela oleh syara’, selamanya akan tetap tercela.
Dengan demikian,
seseorang bisa melangkah di muka bumi berdasarkan petunjuk yang lurus. Setiap
perbuatan yang dilakukannya juga akan senantiasa berdasarkan petunjuk
(hidayah), sehingga dia mengetahui hakikat perbuatannya.
Karena itu,
wajib bagi setiap orang untuk menjadikan hukum syara’ sebagai standar bagi
semua perbuatannya, dengan menganggap segala sesuatu terpuji atau tercela hanya
berdasarkan hukum syara’ semata.
Sungguh
tidak lah tepat orang yang berkata “suatu perbuatan dinilai baik jika
dilakukan dengan niat yang baik”. Perbuatan yang baik tidak cukup bermodal
niat baik. Allah swt berfirman,” Yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Terj. QS. Al Mulk : 2)
Imam Al
Fudhail bin ‘Iyadh (Salah satu guru Iman Syafii; w. 187 H) menjelaskan tentang ayat
di atas bahwa, (Amal terbaik adalah) yang paling ikhlas dan paling benar.”
Kemudian ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Ali, bagaimana yang paling ikhlas dan
paling benar itu?” Kemudian beliau menjawab, “Sesungguhnya suatu amal, jika
benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Jika ikhlas tetapi tidak benar,
tidak akan diterima pula, hingga amal itu menjadi ikhlas dan benar. Ikhlas itu
adalah semata-mata amal tersebut dikerjakan untuk Allah. Benar adalah sesuai
dengan sunah Rasulullah.
Perbuatan
baik bukan sekedar berniat baik, namun harus memenuhi syarat bahwa perbuatan
tersebut diniatkan ikhlas karena Allah ta’ala dan sesuai
tuntunan syariat. Maka sungguh Islam tidak mengenal legenda semacam robin hood
yang mencuri harta orang kaya untuk dibagikan pada kaum fakir miskin.
Sungguh
tidaklah tepat pula orang yang berkata,”Kebaikan adalah apa yang dikerjakan
oleh kebanyakan orang.” Allah ta’ala berfirman yang
artinya,” Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka
bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah).” (QS. Al An’am : 116)
Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil menjelaskan tentang ayat di
atas bahwa Jadikanlah agama ini sebagai ukuran, maka jika kamu melihat umat
manusia berjalan di atas kebathilan maka jauhilah dan janganlah kamu berjalan
bersama mereka, dan jangan pula kamu berdalih dengan banyaknya jumlah manusia
yang berada di jalan tersebut, karena jumlah yang banyak sebagian besar mereka
berada di ats kesesatan.
Banyaknya pendukung tidak selalu di jalan yang benar sebagaimana banyaknya
manusia tidak selalu salah. Halal haram tidak ditentukan melalui proses voting
namun ditentukan berdasarkan nash – nash syara, maka hendaknya ukuran baik/buruk
serta benar/salah tidak disandarkan pada jumlah “likes” dari manusia, namun
disandarkan hanya pada hukum syara sebagai standar perbuatan manusia.
Khatimah
Islam telah
menetapkan standar bagi manusia untuk menilai segala sesuatu, sehingga dapat
diketahui mana perbuatan yang terpuji yang harus segera dilakukan, dan mana
perbuatan tercela yang harus segera ditinggalkan. Standar itu tidak lain adalah
syariat. Karena itu, wajib bagi setiap orang untuk menjadikan hukum syara’
sebagai standar bagi semua perbuatannya, dengan menganggap segala sesuatu
terpuji atau tercela hanya berdasarkan hukum syara’ semata.
Posting Komentar untuk "KEBAIKAN ADALAH APA YANG DIRIDLOI ALLAH"