Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebaikkan Adalah Apa Yang Diridhai Allah (2)

Manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan bersama orang lain. Beraktivitas bersama untuk saling memenuhi kebutuhan. Kadang aktivitas dilakukan secara mandiri, tapi adakalanya dilakukan secara bersama, seperti kerja bakti, gotong royong dan sebagainya.

Namun meski rambut sama hitam tapi isi kepala tiap orang berbeda – beda. Perbedaan pengetahuan dan pengalaman hidup melahirkan pemahaman yang berbeda – beda. Suatu perbuatan manusia terkadang mendapat pujian dari satu pihak namun mendapatkan celaan dari pihak lain. Padahal obyek perbuatannya sama. Maka penting untuk memiliki standar perbuatan yang sama tentang ukuran baik-buruk, terpuji – tercela, benar-salah.

Standar perbuatan manusia adalah ukuran baik dan buruk, benar dan salah, dalam tindakan manusia. Dalam Islam, standar perbuatan manusia diatur oleh hukum syariat yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Hukum syariat Islam memberikan panduan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim. Hukum syariat ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah hingga muamalah (hubungan antar manusia). 

Dalam hal ini ada suatu kaedah berpikir yang disampaikan oleh para ulama yakni

الْخَيْرُ مَا أَرْضَى اللَّهَ، وَالشَّرُّ مَا أَسْخَطَهُ

Artinya Baik adalah apa yang diridloi Allah. Buruk adalah apa yang dimurkai Allah ta’ala

إِنَّ الْحَسَنَ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ، وَإِنَّ الْقَبِيحَ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ

Artinya Terpuji adalah apa yang dipuji syariat Islam. Tercela adalah apa yang dicela syariat Islam

Oleh karena itu hendaknya tidak mengukur standar baik – buruk berdasarkan kebiasaan (urf).

Sesungguhnya Islam bukanlah agama yang menentang tradisi masyarakat, namun agama ini hanya membiasakan yang benar bukan membenarkan yang biasa. Ada kalanya kebiasaan yang dilakukan masyarakat bukanlah sesuatu yang benar, misalnya menentukan tanggal pernikahan atau hari pindah rumah. Melakukan perbuatan tersebut pada bulan tertentu atau meninggalkan perbuatan tersebut pada hari tertentu karena pertimbangan tradisi.

Dalam Islam, semua hari pada dasarnya dianggap baik karena semuanya adalah ciptaan Allah. Tidak ada hari yang secara khusus dianggap sial atau buruk. Namun, ada hari-hari tertentu yang memiliki keutamaan atau keistimewaan, seperti hari Jumat yang dianggap sebagai "sayyidul ayyam" atau rajanya hari.

Tidak ada hari yang secara otomatis dianggap sial atau buruk. Keyakinan pada hari sial adalah warisan dari tradisi jahiliyah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Semua hari adalah ciptaan Allah dan memiliki potensi kebaikan. Setiap hari adalah kesempatan untuk beribadah, berbuat baik, dan mendekatkan diri kepada Allah. Islam mengajarkan untuk selalu optimis dan memanfaatkan setiap hari untuk melakukan amal kebaikan. Setiap hari adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah. 

Dan oleh karena itu standar baik-buruk, terpuji-tercela tidak disandarkan pada kebiasaan, namun disandarkan pada syariat. Sungguh Allah ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya yang artinya, ”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al Baqarah : 170)

Hendaknya pula tidak menetapkan standar baik-buruk berdasarkan perasaan atau selera individu.

Ada banyak hal yang tidak bisa diukur oleh indera perasa manusia, diantaranya jujur, santun, lembut, ramah dan seterusnya. Sikap – sikap tersebut adalah sesuatu yang sangat relatif. Terkadang terasa nyaman ketika perasaan sedang moody, dan terasa tidak nyaman ketika perasaan tidak mood. Maka hendaknya baik – buruk tidak disandarkan pada perasaan pribadi masing – masing individu karena perasaan pribadi adalah sesuatu yang sangat relatif.

Mencuri tetap salah walaupun pelakunya merasa terpaksa. Korupsi tetap batil meski pelakunya melakukan dengan aman dan nyaman. Berzina tetap haram walaupun dilakukan dengan perasaan suka sama suka. Shalat tahajud tetap perbuatan yang baik walau hati terasa berat saat melakukan. Oleh karena itu baik – buruk, terpuji – tercela tidak bisa disandarkan pada perasaan pribadi, namun harus disandarkan pada hukum syara.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)

Tidak pula seorang muslim mengukur baik-buruk dengan ukuran materi.

Pada jaman kapitalistik sebagaimana era yang sedang kita jalani ini seringkali manusia mengukur kebaikan berdasakan asas manfaat, khususnya manfaat materi.  Melakukan suatu perbuatan karena mendatangkan manfaat materi dan meninggalkan suatu perbuatan karena dirasa tidak mendatangkan keuntungan materi.

Padahal manusia hidup bukan sekedar untuk mencari materi. Manusia tidak hidup untuk bekerja, tapi manusia bekerja untuk mencari penghidupan. Sesunguhnya tujuan hidup manusia adalah beribadah pada Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman pada QS Adz Dzariyat 56 : Wa mā khalaqtul-jinna wal-insa illā liya'budụn yang artinya Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Para ulama menjelaskan tentang ayat ini bahwa tidaklah Allah ta’ala menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Nya semata. Allah tidak mengharap rezeki dari mereka, karena Allah Maha Kaya; tidak pula agar mereka (jin dan manusia) memberi Allah makanan, karena Allah-lah yang memberi rezeki kepada seluruh makhluk, Allah memiliki kekuatan dan kekuasaan yang Maha Besar.

Maka hendaknya mengukur standar perbuatan baik-buruk berdasarkan hukum syara, bukan berdasarkan keuntungan atau manfaat materi. Riba adalah perbuatan haram meski mendatangkan keutungan besar. Judi adalah keharaman meski penjudi mendapat “kemenangan besar”. Menipu tetaplah haram meski bagi sebagian orang hal itu mudah dilakukan dan menguntungkan.

Sungguh Allah ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya,“Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl : 93).

Pada ayat lain juga disebutkan,“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS Yasin [36]: 65).



Khatimah

Sahabat Umar Ibn al-Khattab pernah mengingatkan :

حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا

Hitunglah (amal) diri kalian semua sebelum kalian semua dihisab.

Baik-buruk, benar-salah, terpuji-tercela hendaknya disandarakan pada Hukum Syara. Sungguh perbuatan manusia ini akan dihisab di akhirat kelak, jika manusia berbuat di dunia sesuai standar yang ditetapkan syariat islam niscaya Allah swt akan ridlo padanya dan akan menghadapi hari penghisaban dengan baik.

Wallahu a’lam bi ashawab

Posting Komentar untuk "Kebaikkan Adalah Apa Yang Diridhai Allah (2)"