Hikmah Makanan Halal
Beberapa waktu belakangan masyarakat muslim Indonesia diramaikan dengan pemberitaan mengenai makanan dengan merk beer, tuyul dan wine yang diklaim mendapatkan sertifikasi halal. Hal ini memantik polemik diantara para penggiat usaha halal.
MUI
Pusat melalui Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Bidang Fatwa, Prof. Dr. K.H. Muhammad Asrorun Ni’am Sholeh, S.Ag., Lc.,
M.A., menyampaikan bahwa video dari masyarakat yang menunjukkan produk
dengan nama atau merek bir hingga tuyul mendapat sertifikat halal tidak dapat
dibenarkan sesuai standar fatwa MUI.
Ia mengatakan, MUI telah merespons video dari masyarakat
dengan melakukan konfirmasi, klarifikasi, dan pengecekkan. Hasil penelusuran
MUI menunjukkan, produk dengan nama atau merek bir hingga tuyul mendapat
sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur self
declare. Adapun, jalur self declare membuat
produk bisa mendapatkan sertifikat halal tanpa melalui penetapan kehalalan
Komisi Fatwa MUI dan audit dari Lembaga Pemeriksa Halal. (https://www.kompas.com/01102024)
Sementara menurut menurut Kepala Pusat Registrasi dan
Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin, persoalan tersebut hanya
berkaitan dengan penamaan, bukan soal kehalalan produknya.
Namun
MUI berpendapat bahwa hal tersebut tidak sesuai standar halal karena salah satu standar yang diatur dalam Fatwa MUI
tersebut adalah produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan
dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
Terlepas dari hangatnya perbedaan pendapat ini, hal ini
mengingatkan ummat Islam untuk senantiasa berhati – hati dalam mengkonsumsi
makanan. Seorang muslim harus senantiasa memiliki komitmen hanya mengkonsumsi
yang halal sesuai syariat.
Perintah
mengonsumsi makanan halal tertuang dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian
mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh
yang nyata bagimu” (Terjemah QS Al-Baqarah: 168).
Menurut
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, Makanan halal
yang dimaksud harus mencakup dalam dua kategori. Pertama, halal secara dzatiyah
atau dari aspek wujud fisiknya. Kedua,
halal dari aspek asal muasalnya. Makanan yang secara dzatiyah halal, namun
didapatkan dengan cara yang haram, seperti dengan cara mencuri misalnya,
maka tidak akan memperoleh faedah.
Sungguh ada
sejumlah faedah atau manfaat mengkonsumsi makanan halal, diantaranya:
Pertama. Mendapat kesehatan jiwa (keimanan) dan jasmani (badan).
Mengonsumsi makanan halal akan menjadikan hati (keimanan) sehat karena peka
atas nilai baik dan buruk.
Keimanannya
terjaga karena selalu berhati-hati atas setiap rejeki yang dimilikinya untuk
dipastikan kehalalannya. Hatinya senantiasa jernih dipenuhi cahaya hidayah. Dalam
hadits dijelaskan yang artinya,“Barangsiapa
yang memakan makanan halal selama 40 hari, maka Allah akan menerangkan hatinya
dan akan mengalirkan sumber-sumber ilmu hikmah dari hatinya pada lisannya.”
(HR Abu Nu’aim)
Sementara
secara jasmani, bila selalu mengonsumsi makanan halal dan thayyib maka akan
terjamin kesehatannya, terhindar dari kerusakan dan penyakit.
Kedua. Seorang
yang mengkonsumsi makanan halal niscaya do’anya akan dikabulkan oleh Allah Ta’ala.
Orang yang memelihara diri dalam setiap urusannya dalam status yang halal, maka
itu sebagai pertanda ketakwaan, sehingga apabila berdoa akan lebih mudah
dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya yang artinya,“Allah hanya menerima (mengabulkan) dari
orang yang bertakwa.” [QS. al-Mâ`idah :27].
Dengan
demikian, ketika orang bertakwa ini berdoa, apapun yang diinginkan atau perkara
yang sedang dihajatkannya in sya Allah akan senantiasa terkabul. Sebaliknya,
bila selama ini doa yang dipanjatkan tidak terkabul, bisa jadi karena ada
penghambat dari konsumsi yang dimakan belum bersih dari keharaman.
Ketiga. Mengkonsumsi
pangan halal akan dijauhkan dari siksa api neraka.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu
anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak
akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (HR. Ibn Hibban
dalam Shahîhnya)
Keempat. Makanan
yang halal menumbuhkan perbuatan yang baik.
Rizki dan makanan yang halal adalah bekal dan sekaligus pengobar semangat untuk
beramal shaleh dan ringan untuk menjalankan berbagai ibadah. Firman Allah Ta’ala
yang artinya, “Wahai para rasul! Makanlah
dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (QS. Al-Mu‟minun : 51)
Ustadz
M. Ali Zainal Abidin dalam nu.or.id menambahkan,
bahwa menurut para ulama mengkonsumsi makanan halal mendatangkan sejumlah keberkahan
atau faedah. Beliau mengutip setidaknya tiga perkataan ulama, diantaranya :
Makanan
halal mendatangkan faedah yang bersifat bathiniyah dan lahiriah yang dapat
dirasakan oleh tubuh secara langsung, yakni sebagai obat dari beragam penyakit.
Salah satu sufi golongan tabi’in, Yunus
bin Ubaid berkata: Artinya, “Kalau saja
kami memiliki uang satu dirham dari yang halal, tentu akan kami belikan gandum
yang akan kami tumbuk dan kami sajikan untuk kami. Setiap orang sakit yang dokter
tidak mampu mengobatinya, maka kami obati dengan gandum yang kami dapatkan dari
uang halal, lalu ia pun sembuh dari penyakitnya saat itu juga.” (Abdul
Wahab as-Sya’rani, Tanbîhul Mughtarrîn, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah:
2002]
Makanan
halal menjadi sebab diberi keturunan saleh atau salehah. Syekh Abdul Qadir
al-Jilani, dalam kitabnya al-Ghunyah menjelaskan : “Tatkala tampak tanda-tanda kehamilan wanita, hendaknya suami menjaga
makanannya dari yang haram dan yang syubhat agar anaknnya dapat terbentuk atas
fondasi dimana setan tidak dapat menjangkaunya.
Alangkah baiknya jika kebiasaan
menghindar dari makanan haram dan syubhat dimulai saat prosesi pernikahan dan
terus berlangsung sampai kelahiran anak, agar suami, istri dan anak-anaknya nanti
selamat dari godaan setan di dunia dan selamat dari neraka di akhirat kelak.
Dengan melakukan hal tersebut, anak akan lahir sebagai anak yang salih,
berbakti pada kedua orang tua dan taat kepada Tuhannya. Semua itu karena
barokah menjaga makanan (dari yang haram dan syubhat).”
Adapun
Syekh Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad juga menyampaikan bahwa, bagi orang yang
telah cukup tasawufnya, menjernihkan hati membutuhkan tiga kebiasaan penting,
yaitu (1) menyedikitkan makanan serta
menjaga kehalalannya, (2) tidak berinteraksi dengan orang yang berambisi
mengejar nafsu duniawi, dan (3) selalu ingat kematian agar tidak terlalu banyak
berandai-andai. (Zain bin Smith, al-Manhajus Sâwî, halaman 561).
Khatimah
Mengkonsumsi
pangan halal merupakan salah satu perintah Allah Ta’ala yang tercantum dalam Al
Qur’an. Hal ini juga telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka menjaga diri dari produk haram
adalah salah satu bentuk ketaatan. Makan dan minum hanya dengan makanan dan
minuman halal sesuai syariat adalah bentuk ketaqwaan. Dengan kata lain hal ini
merupakan salah satu bentuk ibadah pada Allah Ta’ala, selain ibadah – ibadah
lain yang juga dilaksanakan kaum mukminin.
Posting Komentar untuk "Hikmah Makanan Halal"