HADIAH
Salah satu akhlaq dalam islam adalah saling memberi hadiah dalam rangka mempererat tali ukhuwah islamiyyah antara sesama muslim ataupun untuk menjalin silahturahim dengan para kerabat.
Syekh
Zakariyya Al-Anshari mendefinisikan hadiah sebagai penyerahan hak milik harta
benda tanpa ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima untuk
memuliakannya. Jadi tujuan dari pemberian hadiah adalah untuk memuliakan
seseorang, misalnya atas kedudukan, prestasi, peranan atau jasa penting yang
dimilikinya dalam masyarakat.
Ada
banyak keutamaan memberi hadiah. Sebagaimana beberapa hadits Rasulullah saw berikut
yang artinya,
“Wahai, wanita muslimah. Janganlah
kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga kepada tetangganya,
sekalipun ujung kaki kambing”. [HR Bukhari]
“Saling
memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta”. [HR Bukhari]
“Hendaknya kalian
saling memberikan hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan sifat benci dalam
dada, dan janganlah seseorang meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya
secuil kaki kambing.” [HR.Bukhari dan Muslim]
“Sekiranya aku diundang makan sepotong lengan
atau kaki binatang, pasti akan penuhi undangan tersebut. Begitu juga jika
sepotong lengan atau kaki dihadiahkan kepadaku, pasti aku akan menerimanya.”
(HR. Bukhari)
Tentang
anjuran saling memberi hadiah, di kalangan ulama telah terjadi Ijma’, karena Ia
memberikan pengaruh yang positif di masyarakat, baik bagi yang memberi maupun
yang menerima.
Bagi
yang memberi, itu sebagai cara melepaskan diri dari sifat bakhil, sarana untuk
saling menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai salah
satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya kecemburuan dan
kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan persatuan dengan sesama.
Imam
al-Ghazali memberikan petunjuk tentang adab yang perlu diperhatikan oleh siapa
saja yang bermaksud memberikan hadiah kepada seseorang, diantaranya :
Pertama,
memandang utama kepada orang yang diberi hadiah.
Pemberian
kepada orang lain karena merasa iba tidak bisa disebut sebagai hadiah tetapi
sedekah. Oleh karena itu jika kita bermaksud memberikan sesuatu kepada
seseorang sebagai hadiah, maka kita harus memandang sisi keutamaan atau
kelebihan dari orang itu sebagai sikap menghargai atau menghormati, misalnya
sebagai sesepuh, orang alim, orang saleh, orang yang banyak kebaikan dan
jasanya, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
Kedua,
menampakkan rasa senang pada waktu menyerahkan hadiah.
Memberikan
hadiah bukanlah kewajiban karena hukumnya adalah sunnah. Oleh karena hukumnya
bukan wajib, maka terasa janggal apabila kita memberikan hadiah karena
keterpaksaan sehingga tidak bisa menampakkan rasa senang.
Ketiga,
bersyukur ketika melihat orang yang akan diberi hadiah.
Jika
menampakkan rasa senang di depan orang lain lebih bersifat sosial karena
terkait dengan hubungan baik antara manusia satu dengan lainnya atau disebut hablum minan nas, maka rasa syukur di
dalam hati ketika bertemu orang yang akan diberi hadiah termasuk wilayah hablum minallah karena bersyukur
merupakan ibadah personal kepada Allah.
Keempat,
mengikhlaskan hadiah tersebut walaupun banyak.
Memberikan
hadiah dengan nilai yang pantas adalah wajar sebab hadiah bersifat penghargaan
dan tidak diberikan dengan pamrih tertentu. Bagi orang mampu, nilai hadiah yang
wajar tidak menjadi persoalan, tetapi bagi orang yang kurang mampu, mungkin
terasa berat dan bisa mengurangi keikhlasannya. Di sinilah masalahnya jika
orang-orang tak mampu didorong-dorong memberikan hadiah kepada orang-orang
tertentu di dalam masyarakat.
Ada
tiga macam hadiah jika dilihat dari posisi pemberiannya.
Pemberian Hadiah dari Bawah Ke Atas
Pemberian
hadiah seperti ini misalnya seorang bawahan memberikan hadiah kepada atasan,
atau dari seseorang yang memiliki kepentingan bisnis kepada orang lain yang
memiliki kekuasaan. Hadiah seperti ini tidak diperbolehkan karena termasuk
gratifikasi.
Pemberian Kepada Orang yang Setara
Hadiah
semacam ini boleh dan dianjurkan sepanjang saling memberi manfaat dan
mempererat persahabatan atau persaudaraan.
Pemberian Hadiah dari Atas ke Bawah
Pemberian
hadiah ini selama tidak ada kepentingan terhadap yang diberi, maka sangat
dianjurkan. Seperti misalnya, hadiah dari seorang pemimpin di perusahaannya
memberikan hadiah kepada karyawannya karena memiliki kinerja yang baik. Inilah
bentuk hadiah yang sangat dianjurkan.
Beda Hadiah dan Ryswah
Salah
satu parameter untuk mengetahui apakah hadiah tersebut diperbolehkan atau tidak
adalah dengan memastikan apakah hadiah tersebut termasuk dalam kategori suap (ryswah) yang dilarang dalam Islam.
Imam Syafii menjelaskan apa saja kriteria hadiah yang
tergolong haram (risywah).
Pertama, hadiah dengan maksud si pemberi hadiah itu
mendapatkan haknya lebih cepat daripada wak tunya yang semestinya.
Kedua, hadiah dengan
maksud bahwa si pemberinya memperoleh sesuatu yang bukan haknya.
Misalnya, seorang hakim
menerima hadiah dari tergugat atau terdakwa supaya pihak-pihak yang berperkara
itu dimenangkan dalam perkaranya atau dibebaskan dari tuntutan
hukuman. Padahal, bukti-bukti yang ada menunjukkan sebaliknya.
Ketiga, hadiah dengan
maksud bahwa pejabat yang bersangkutan membebaskan si pemberi dari seluruh atau
sebagian kewajiban yang seharusnya ditunaikannya.
Oleh
karena itu jika pemberian yang diberikan pada seorang yang berstatus Pejabat
atau Pegawai yang bertugas melakukan layanan publik, maka kemungkinannya ada
tiga hukum :
Pertama
: Pemberian yang diharamkan bagi yang memberi maupun yang menerima.
Kaidahnya,
pemberian tersebut bentujuan untuk sesuatu yang batil, ataukah pemberian atas
sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai.
Misalnya
pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada
sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk
kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata
terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak
orang Lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih
berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.
Kedua
: Pemberian yang terlarang mengambilnya, namun diberi keringanan dalam
memberikannya.
Kaidahnya,
pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak
dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai bersangkutan yang seharusnya
memberikan pelayanan.
Sebagai
misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang ia lakukan karena
untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya.
Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang,
misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya.
Ketiga
: Pemberian yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan memberi dan mengambilnya.
Kaidahnya,
suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah swt untuk memperkuat
tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh
keuntungan duniawi.
Misalnya
pemberian seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan (usahanya).
Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga memberi hadiah, karena
hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu tetap tidak bertambah,
meskipun yang ia beri sekarang sedang menjabat.
Maka
poin utama dalam interaksi saling memberi hadiah adalah hadiah tersebut
diberikan dengan rasa ikhlas dalam rangka memuliakan seseorang dan atau
mempererat tali ukhuwah islamiyyah atau tali silahturahim dan bukan karena
pamrih tertentu yang bersifat duniawi.
Posting Komentar untuk "HADIAH"