Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apakah Kita Ini Ayah Abul Jasad atau Ayah Abuddin?

Oleh : Ust. Herman Anas**

 

ABUL Jasad adalah ayah secara jasad, fisik dan biologis. Karena dari perantara ayah dan bunda anak lahir ke dunia. Perhatian dan perawatan terhadap anaknya hanyalah terkait dengan fisik dan kesenangan dunia yang fana (sementara dan rusak).

Sifat dunia yang tidak kekal ini atau fana sebenarnya bisa dirasakan saat masih hidup, tidak usah menunggu meninggal dunia. Orang senang makan nasi padang kalau hanya sesekali, tapi kalau tiap hari? Orang senang tidur, kalau tidak terus-menerus. Begitupun orang membayangkan akan selalu senang jika cita-citanya tercapai. Namun, berbeda saat menjadi kenyataan. Orang berfikir akan selalu senang saat mendapat harta, kedudukan, jabatan, kendaraan dst. Kenyataannya tidak selalu demikian saat semua sudah didapat. Apalagi ditambah niat yang keliru.

Rasulullah sudah memperingatkan dalam haditsnya dari Zaid bin Tsabit :

مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ

“Barangsiapa yang menjadikan dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan dunia melebihi dari apa yang Allah tuliskan baginya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan atau selalu merasa cukup dalam hatinya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).“

Dalam hadits tersebut, orang yang menjadikan dunia menjadi tujuan utama dan niatnya di dalam berbuat sesuatu maka Allah memberi hukuman dengan mencerai-beraikan urusannya. Urusannya tidak ditolong Allah hingga lupa ibadah, mendapat apapun tidak pernah cukup dan ia hanya mendapatkan tidak melebihi dari yang ditetapkan oleh Allah.

Ayah abul jasad menanamkan hal-hal tersebut kepada anak-anaknya. Ia yang menanamkan cita-cita yang kerdil dalam menuntut ilmu supaya dapat pekerjaaan, hidup enak, mudah punya jabatan dst.

Ayah abul jasad adalah orang tua yang menanamkan kemanjaan pada anak dengan seabrek fasilitas, yang menurutnya membuat anak senang atau bahkan menaikkan level strata sosial. Padahal itu adalah kesenangan sementara yang cepat bosan dan justru menyusahkan orang tua sendiri.

Mengapa seorang ayah menjadi abul jasad? Karena standar berfikirnya adalah manfaat. Baik dan buruk baginya patokannya adalah manfaat secara materi.

Padahal, seharusnya umat Islam standar baik dan buruknya adalah ridha Allah.  Karena Allahlah yang tau sedangkan manusia tidak mengetahui. Sebagaiman firmannya :

(كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهࣱ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰۤ أَن تَكۡرَهُوا۟ شَیۡـࣰٔا وَهُوَ خَیۡرࣱ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰۤ أَن تُحِبُّوا۟ شَیۡـࣰٔا وَهُوَ شَرࣱّ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ یَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ)

[سورة البقرة 216]

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Jadi, ukuran baik dan buruk bukan asas manfaat, tren, dibenci atau disukai manusia dsb. Allah sudah menegaskan bahwa dirinya yang mengetahui, sedangkan manusia tidak mengetahui.

Darimana ayah medapatkan standar seperti itu?

Ada banyak yang mempengaruhi ayah dalam hal standar baik dan buruk.

Pertama, televisi. Televisi menayangkan sinetron sinetron glamor yang tidak mendidik. Ghibah artis yang sama sekali tidak penting bagi keluarga muslim. Kecuali hanya menjadi penambah dosa dan pastinya mempengaruhi ukuran baik dan buruk. Apalagi isi pertelevisian di negeri ini kebanyakan terkait percintaan, pamer kekayaan, pacaran, pernikahan, perceraian dan begitu seterusnya.

Kedua adalah gadget. Telepon genggam android yang hampir semua orang punya saat ini sangat berpengaruh terhadap pola pikir termasuk standar baik dan buruk bagi ayah. Di dalam hp terhimpun banyak hal, mulai kitab-kitab, surat kabar online hingga status teman. Berita atau status teman yang dibaca tidaklah ada yang netral. Semua membawa sudut pandang, bukan fakta semata. Balasan di akhirat juga hanya ada dua, yakni surga dan neraka.

Ketiga adalah teman. Teman ayah sangat berpengaruh terhadap cara pandang ayah terhadap sesuatu. Karena antar teman itu saling mempengaruhi. Bahkan di dalam hadits bisa mempengaruhi agamanya. Untuk mengetahui seperti apa ayah, bisa dilihat temannya. Berteman dengan penjual parfum, dapat harumnya. Berteman dengan pande besi, minimal dapat bau asapnya yang tidak sedap.

Ayah Abuddin

Disamping ayah abul jasad, ada juga ayah abuddin. Ayah abuddin adalah ayah dari sisi agama atau bisa disebut juga aburruh (ayah dari sisi ruh).

Abuddin sebenarnya gelar untuk guru dalam Islam. Karena gurulah yang mengantarkan santri sampai kepada Allah. Jika Abul jasad hanya memikirkan kebutuhan fisik, sandang, papan dan pangan, maka  abuddin adalah ayah yang memikirkan kebutuhan ruh anak.

Ayah abuddin tidak hanya mencari nafkah untuk anak. Tapi juga memberi makanan ruh dengan ilmu, iman dan akhlak akhlak mulia. Dia menanamkan standar baik, buruk dan kebahagiaan adalah ridha Allah. Tujuan di atas segala tujuan adalah ridha Allah (غاية الغاية مرضات الله).

Jika ayah abul jasad begitu perhatiannya memastikan kecukupan anaknya makan tiap hari bahkan hingga 3 kali sehari. Maka ayah abuddin akan mengusahakan kecukupan isi untuk ruh anak. Anak yang tidak makan akan lemas, tapi anak yang tidak diisi ilmu agama bukan hanya berbahaya dalam hal dunia bahkan justru akhiratnya.

Imam al-Ghazali, mengutip pernyataan Imam Fath dalam kitab Ihya’nya:

قال فتح الموصلي رحمه الله : أليس المريض إذا منع الطعام والشراب والدواء يموت؟ قالوا بلى. قال كذلك القلب إذا منع عنه الحكمة والعلم ثلاثة أيام يموت

“Imam Fath al-Mushuli rahimahullah berkata, Bukankah akan mati jika ada orang sakit yang tidak mendapatkan makan, minum, dan obat?  Mereka pun menjawab, Iya benar, akan mati. Begitu juga hati, ketika tidak mendapatkan hikmah dan ilmu selama tiga hari, maka hati akan mati.”

Bagaimana jika ayah tidak bisa mengajari?

Ajarilah walaupun hanya sekedar mengajarkan huruf hijaiyah, syahadat, rukun islam, rukun iman atau kalimat kalimat thayyibah. Ayah tentu harus meng-upgrade ilmu agama sebagai tebusan dulu tidak mempersiapkan secara baik dalam hal ilmu agama. Padahal, menikah bukan hanya tanggungjawab masalah belanja tapi, menjaga keluarga dari api neraka. Semua itu didapat dengan faham ilmu agama. Itulah orang orang yang Allah kehendaki kebaikan baginya.

Apabila ayah mampu menggabungkan tanggungjawab sebagai abul jasad dan aburruh maka sempurnalah tanggungjawab pada keluarga. Anak akan ingat pesan pesan ayah untuk mendekatkan diri pada Allah. Sebagaimana ulama terdahulu ingat pada guru-guru nya bahkan mendoakan gurunya baik di luar shalat atau dalam shalat sebagaimana yang Imam Ahmad dan Imam Yahya mendoakan gurunya Imam syafi’i.

Namun, berbeda jika mejadi ayah abul jasad, saat ayah meninggal bukan sibuk mendoakan, justru bertengkar gara-gara fitnah warisan harta. 

 

*Tulisan ini telah dipublikasikan pada Hidayatullah.com edisi 1 September 2020  

**Penulis adalah Alumni PP Annuqoyah – Sumenep, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN KHAS – Jember, Pembina MT. Kalam.

Posting Komentar untuk "Apakah Kita Ini Ayah Abul Jasad atau Ayah Abuddin?"