Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Astrologi (Ramalan Perbintangan)

 

 



Ketidaktahuan tentang masa depan terkadang menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian kalangan. Maka banyak orang berusahan menyiapkan diri menghadapi sesuatu yang akan terjadi, namun kadang usaha yang dilakukannya bukan merupakan tindakan positif, salah satunya dengan mengandalkan ramalan rasi bintang. Mereka menganggap bahwa mereka akan dapat mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan keadaan seseorang melalui perantaraan rasi bintangnya. Bagaimana hukum syara’ dalam masalah ini?

 Mereka yang berkecimpung dalam masalah perbintangan mengatakan bahwa rasi bintang (zodiac) berjumlah 12. Urutannya secara tertib adalah Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Capricornus, Aquarius, dan Pisces. Seseorang yang dilahirkan antara tarikh 21 Maret hingga 19 April berbintang Aries. Sedangkan yang dilahirkan antara tarikh 20 April hingga 20 Mei berbintang Taurus dan yang dilahirkan antara tarikh 21 Mei hingga 20 Jun berbintang Gemini. Demikian seterusnya, hingga mereka yang dilahirkan antara tarikh 19 Februari hingga 20 Maret berbintang Pisces.

 Seorang peramal bintang/ahli (astrologi) menyangka bahwa ia mengetahui apa-apa yang akan terjadi pada seseorang secara lebih dahulu bila ia mengetahui rasi bintangnya atau selang waktu di mana orang itu dilahirkan.

 Apabila ia mendalami pengetahuan yang dijadikan dasar sangkaan para astrologi itu akan kita lihat bahwa pengetahuan tersebut tidaklah bersandar pada dalil aqli ataupun dalil naqli yang terpercayai. Oleh karena itu siapa saja yang menyangka telah mengetahui hal yang ghaib dan kejadian masa depan serta apa yang akan terjadi bagi setiap orang melalui perantaraan bintangnya maka berarti  dia seorang pendusta dan pembohong dan siapa saja yang membenarkannya berarti  dia orang yang bodoh, akalnya sempit, dan keyakinannya rusak. Sebab persangkaan bahwa mereka mengetahui kejadian masa depan dan hal yang ghaib adalah bertentangan dengan nash-nash al-Quranul Karim dan tidak boleh diterima oleh akal yang sihat. Allah swt berfirman:

"Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua hal yang ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri." (Q.S Al-An’aam: 59)

 

Allah swt berfirman:

”(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, " (Q.S Al-Jin: 26-27)

 

Allah swt berfirman:

"Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan." (Q.S Al-A’raaf: 188)

 Imam Al Qurthubi rahimahullah dalam kitab tafsirnya Al Jami’ li Ahkamil Qur’an jilid XIX hal. 28-29, berkomentar terhadap firman Allah swt Surat Al Jin di atas:

 "Ketika Allah memuji dirinya sendiri dengan pengetahuan ghaib dan mengkhususkan pengetahuan ghaib itu tanpa menyertakan makhluk-Nya, maka dalam hal ini terdapat dalil bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui yang ghaib kecuali Dia. Kemudian Allah mengecualikan kepada para rasul yang diridhai-Nya. Maka Allah menyampaikan perkara ghaib yang dikehendaki-Nya melalui jalan wahyu kepada mereka dan Allah telah menjadikan perkara ghaib itu sebagai mukjizat bagi mereka dan bukti yang benar atas kenabian mereka. Orang-orang peramal perbintangan (astrologi) serta orang-orang yang menyerupainya seperti orang yang memukul dengan tongkat kemudian melihat ke dalam kitab-kitabnya (khusus perbintangan) serta mengusir burung-burung (sebagai cara untuk menerka) bukanlah temasuk rasul yang diridhai oleh Allah sehingga mereka dapat mengetahui masalah ghaib yang dikehendaki-Nya. Bahkan dia adalah orang yang kafir terhadap Allah, mengada-adakan dusta terhadap-Nya dengan terkaan-terkaan, taksiran-taksiran dan kebohongan-kebohongannya."

 Imam Al-Qurthubi selanjutnya menambahkan:

 Ramalan bintang tak ada faedahnya sama sekali, dan tidak menunjukkan celaka atau bahagianya (seseorang). Ramalan tersebut tiada lain adalah penentangan terhadap al-Qur’an yang agung. Sikap penentangan terhadap al-Qur’an ini berarti  telah menghalalkan darah orang yang melakukan ramalan perbintangan itu. Betapa bagusnya seorang penyair yang berucap:

 Seorang ahli nujum telah meramal bintangku dan dia putuskan bahwa aku akan mati tenggelam, Katakan padanya, "(Ucapanmu bagai) topan pagi hari, apakah semua orang yang dilahirkan dengan bintang itu, akan mati tenggelam?"

 Imam Al-Qurthubi kemudian melanjutkan:

 "Pada saat Ali bin Abi Thalib ra hendak berangkat untuk menemui orang-orang Khawarij seseorang berkata kepadanya, "Apakah engkau hendak menemui mereka, sedangkan bulan sedang pada posisi rasi Scorpio?" Ali menjawab,"Lalu, di manakah posisi bulan mereka?" (pada saat itu adalah akhir bulan).

 Perhatikan kalimat yang digunakan Ali dalam menjawab pertanyaan tersebut. Di sana terhadap bantahan yang sangat keras terhadap orang yang berkata berdasarkan ramalan perbintangan. Di sana terdapat pula pembungkaman terhadap setiap orang bodoh yang mempercayai keputusan-keputusan ramalan perbintangan.

 Kemudian seorang musafir bernama Ibnu ‘Auf berkata pula kepada Ali. "Janganlah engkau berangkat pada waktu sekarang. Tapi berangkatlah tiga waktu selepas siang hari!" Lalu Ali bertanya kepadanya. "Memangnya mengapa?" Ibnu ‘Auf menjawab. "Sesungguhnya jika engkau berangkat pada waktu sekarang, niscaya engkau dan para sahabatmu akan tertimpa bencana dan bahaya yang dahsyat. Tapi jika engkau berangkat pada waktu yang kuperintahkan tadi, niscaya engkau akan mendapat kemenangan dan berhasil mengalahkan (mereka), serta engkau akan mendapatkan apa yang engkau cari. "Maka berkatalah Ali kepadanya. "Tidaklah patut Muhammad saw menjadi seorang peramal bintang, begitu pula kami para sahabatnya sepeninggalan beliau." (Lalu terjadilah perbincangan panjang di mana Ali berhujjah dengan ayat-ayat dari al-Qur’an). Akhirnya Ali berkata. "Siapa saja yang membenarkan perkataanmu tadi, maka aku tidak menjamin keamanan dirinya. Orang seperti itu adalah seperti orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai seruan atau sekutu. Ya Allah! tiada kemalangan kecuali kemalangan yang telah Engkau putuskan dan tiada keselamatan kecuali keselamatan yang telah Engkau putuskan."

 Ali kemudian berkata kepadanya, "Kami mendustakan dan menyalahi perkataannya. Kami akan berangkat pada waktu yang kamu larang untuk berangkat. "Ali kemudian menghadapkan dirinya pada orang ramai dan berkata. "Wahai manusia!, hindarkanlah diri kalian dari belajar ilmu perbintangan, kecuali apa yang dapat menunjuki kalian di kegelapan darat dan laut. Seorang peramal bintang (ahli nujum) tak lain adalah seperti tukang sihir, sedangkan seorang tukang sihir adalah seperti orang kafir dan orang kafir tempatnya di neraka! Demi Allah, kalau sekiranya sampai berita kepadaku bahwa kamu (Ibnu ‘Auf) memperhatikan bintang-bintang lalu kamu beramal atas dasar (ramalan) bintang-bintang itu, niscaya aku akan mengekalkan kamu dalam tahanan selama kamu dan aku hidup. Dan aku akan mencegah pemberian (orang-orang) selama aku masih memegang kekuasaan."

 Maka berangkatlah Ali (dan para sahabat) pada waktu yang dilarang oleh Ibnu ‘Auf. Mereka akhirnya menemui kaum Khawarij dan memerangi mereka. Inilah pertempuran An-Nahrawan sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim.

 Kemudian Ali berkata, "Kalau kita berangkat pada waktu yang diperintahkan kepada kita, lalu kita meraih kemenangan dan berhasil mengalahkan (mereka), niscaya orang akan berucap, "(Semua itu) karena kita berangkat pada waktu yang diperintahkan oleh peramal bintang. Padahal tidaklah patut Muhammad saw menjadi seorang peramal bintang begitu pula kita sepeninggal beliau. Allahlah yang telah memenangkan kita atas negeri-negeri Kisra, Kaisar dan negeri-negeri lain."

 Lalu Ali berkata, "Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dan percayalah kepada-Nya. Sebab sesungguhnya cukuplah Dia daripada selain-Nya." (Lihat Nahjul Balaghah juz 1, halaman 128, Darul Huda Al Wathaniyah, Beirut).

 Dari seluruh penjelasan di atas, jelaslah bahwa siapa saja yang membenarkan ramalan perbintangan yang mencoba mengungkapkan hal yang ghaib dan apa yang akan terjadi di masa depan pada diri seseorang, berarti dia adalah orang yang bodoh. Dan pada waktu yang sama dia telah berdosa di sisi Allah, karena keyakinanya itu telah menyalahi al-Qur’an.

 Dengan demikian, haram hukumnya atas kaum muslimin untuk membenarkan atau meyakini ramalan-ramalan perbintangan tersebut.

 Adapun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perbintangan (astronomi) yang dapat digunakan untuk mengetahui arah, waktu dan seumpamanya, maka dari segi ini adalah baik dan tidak mengapa. Dalam al-Qur’an terdapat pujian terhadap segi ilmu perbintangan yang semacam itu. Allah berfirman:

"Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk." (Q.S An-Nahl: 16).

 Bahkan mempelajari dan mengamalkan ilmu tersebut hukumnya dapat menjadi fardhu atas kaum Muslimin bila tanpa ilmu tersebut mereka tak dapat sempurna menjalankan kewajiban-kewajiban syar’iy seperti penetapan waktu shalat, penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan dan yang seumpamanya. Hal ini berdasarkan kepada kaedah syara':

 "Suatu kewajiban  tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya."

 Wallahu a’lam bi ashowab

Posting Komentar untuk "Hukum Astrologi (Ramalan Perbintangan)"