Ibrah Perjalanan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
Allah ta’ala berfirman,”Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. Al Isra : 1)
Ayat
di atas menerangkan tentang peristiwa perjalanan Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi wa Sallam yang dikenal sebagai perjalanan isra’ dan mi’raj. Kisah Isra Miraj terjadi pada bulan Rajab tanggal 27
Rajab sekitar tahun kesepuluh atau kesebelas dari kenabian Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi wa Sallam.
Perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad dilalui oleh Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam dari Masjidil Haram di Mekkah menuju
Masjidil Aqsha di Madinah lantas melakukan perjalanan menembus tujuh lapis
langit. Pada setiap tingkatan langit, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam
berjumpa dengan beberapa nabi. Kemudian ketika menghadap Allah Ta’ala, pada
saat itulah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam mendapatkan perintah
wajib untuk melakukan salat 5 waktu dalam sehari.
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah
suatu perjalanan agung yang memberikan banyak ibrah yang dapat digali, salah
satunya untuk memotivasi diri agar dapat menjalankan agama Islam di bumi ini
dengan sebaik baiknya.
Pertama. Peristiwa ini menunjukkan Allah ta’ala adalah Tuhan
yang Maha Kuasa. Dia telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Mekkah ke Palestina dan dilanjutkan hingga ke langit ketujuh.
Jarak Mekkah – Palestina Kurang lebih 1.300 KM. Moda
transportasi di masa itu, kuda, keledai ataupun unta butuh waktu lebih dari
sebulan untuk menyelesaikan perjalanan. Namun Allah ta’ala berkuasa menetapkan
peristiwa itu terjadi. Maha Benar Allah yang telah berfirman,” Innamā amruhū iżā arāda syai`an ay yaqụla
lahụ kun fa yakụn yang artinya Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
"Jadilah!" maka terjadilah ia.” (QS. Yasiin : 82)
Kedua. Ujian Keimanan bagi orang – orang beriman. Mengutip
tulisan KH. Hasyim Muzadi pada Harian Republika, 8 Mei 2016, beliau
menyampaikan, Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam ditemani Malaikat Jibril
menembus lorong waktu mengendarai buraq dan hanya butuh sekian kedipan mata. Hal
itu menyebabkan banyak anggota masyarakat terhenyak. Apa penjelasan yang bisa
membuat mereka percaya ? Hanya sedikit dari mereka yang mempercayai penjelasan
Nabi. Di antara yang sedikit tersebut adalah sahabat Abu Bakar ash shidiq yang
menyatakan percaya apapun yang dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Itulah realitas kongkrit keimanan Abu Bakar. Menerima apapun
yang datang dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Seandainya kita hidup
di masa itu belum tentu kita termasuk bagian orang – orang yang percaya pada
kisah tersebut. Padahal salah satu ciri orang yang bertaqwa adalah beriman pada
yang ghaib.
Percaya pada yang tidak kasat mata, tidak dapat dijelaskan logika,
namun telah dijelaskan dalam nash yang shohih. Sebagaimana firman Allah ta’ala,” Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan di
dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu)
orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan
sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, “ (TQS. Al Baqarah 2-3)
Ketiga. Menegaskan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa
Sallam adalah al amien. Masyarakat Mekkah kala itu sangat mempercayai Muhammad Shalallahu
Alaihi wa Sallam karena tidak punya catatan kebohongan, hingga beliau dijuluki
al amien. Sifat – sifat amanah pada diri Muhammad bin Abdillah itu membuat kisah
Isra’ Mi’raj sulit untuk dibantah.
Hal ini menunjukkan pentingnya senantiasa bersikap jujur
dan amanah. Seorang yang dikenal sebagai sosok yang amanah akan mudah mendapat kepercayaan dari publik saat
menjalankan tugas ataupun aktivitas lain. Sebaliknya seorang yang dikenal tidak
jujur atau tidak menepati janji akan
diremehkan oleh lingkungannya. Bahkan saat menyampaikan kebenaranpun, ia akan
diragukan.
Keempat. Pentingnya ibadah sholat (5 waktu). Semua
syariat diturunkan Allah ta’ala pada Rasul-Nya Muhammad Shalallahu Alaihi wa
Sallam melalui perantara malaikat jibril. Namun khusus perintah shalat lima
waktu Allah ta’ala memanggil langsung Nabi Muhammad untuk menghadapnya guna
menerima perintah shalat.
Allah ta’ala berfirman,”Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.” (TQS. An Nisaa : 103)
Disebutkan
dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shalallahu
Alaihi wa Sallam bersabda: “Shalat yang
lima waktu, Jumat yang satu ke Jumat lainnya, Ramadhan yang satu ke Ramadhan
lainnya, itu bisa menjadi penghapus dosa di antara keduanya selama pelakunya
menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
Kelima.
Pada kondisi terkini, isra’ mi’raj seharusnya juga dapat membangun kepedulian
ummat terhadap kondisi Masjid Al Aqsa. Masjid yang menjadi tujuan Rasul Shalallahu
Alaihi wa Sallam dalam perjalanan isra’ serta titik awal perjalanan mi’raj.
Selain itu Masjid Al Aqsa pernah ditetapkan sebagai arah kiblat sholat kaum
muslimin sebelum berubah ke arah Ka’bah di Masjidil Haram.
Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam telah menyampaikan banyak hal
tentang kemulian Masjid Al Aqsa. Diantaranya “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Bahr
berkata, telah menceritakan kepada kami Isa berkata, telah menceritakan kepada
kami Tsaur dari Ziyad bin Abu Saudah dari saudara laki-lakinya bahwa Maimunah
bekas budak Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, berkata, "Wahai Nabi Allah,
berilah kami fatwa tentang Baitul Maqdis." Beliau menjawab, "Itu
adalah bumi yang terbentang dan mahsyar (perkumpulan), datanglah ke sana dan
laksanakan sholat di sana, karena sholat di sana sama dengan melaksanakan
seribu salat di tempat lainnya."
Beliau bertanya, "Bagaimana pendapat tuan jika seseorang tidak mampu untuk datang ke
sana?" Nabi menjawab, "Hendaklah dia menginfakkan minyak untuk
penerangan di sana karena barang siapa yang memberikan minyak untuk penerangan
di dalamnya, maka ia seperti orang yang melaksanakan sholat di dalamnya.".
(HR Ahmad).
Pakar hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, KH Sandi
Santosa, menjelaskan tentang makna memberi
minyak yang dengannya lampu bisa dinyalakan di dalamnya, Barangsiapa melakukan itu maka ia seperti
telah mendatanginya, bahwa Pada
zaman Rasulullah sumber untuk penerangan harus menggunakan minyak. Bisa jadi
hal sama, dengan saat ini, di mana bisa jadi di suatu daerah- sumber penerangan
belum teraliri listrik, maka minyak menjadi sumber utama. Lalu haruskah minyak?
Tentu tidak. Minyak bisa diganti dengan segala sesuatu yang bisa menjadi
memakmurkan masjid. Apapun bantuan yang diberikan untuk masjid, bil khusus konteksnya adalah Masjid Al
Aqsa, adalah yang berkaitan dengan bagaimana memakmurkan Masjid Al Aqsa yang
dapat digunakan sebagai tempat ibadah.
Selain itu bisa juga di maknai bantuan bagi jamaah
(warga Palestina).
Posting Komentar untuk "Ibrah Perjalanan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam"