AKHLAQ MENUNTUT ILMU
Sebuah berita miris di dunia pendidikan sedang menjadi trending topic nasional. Seorang guru honorer di Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara dilaporkan ke pihak berwajib oleh orang tua siswa karena disangka menganiaya putranya.
Ada
kronologi peristiwa versi orang tua, adapula kronologi peristiwa versi sekolah.
Dan mediasi yang gagal antara orang tua dan guru menjadikan masalah penegakan
disiplin di ruang kelas beralih ke arah penegakan hukum di ruang publik.
Kontroversi semakin berkembang luas dan menjadi polemik di tengah masyarakat,
tak dinyana sang anak yang menjadi subyek masalah justru terabaikan.
Sebenarnya
hal ini bukan kasus yang pertama atau satu – satunya. Ada beberapa peristiwa
lain di berbagai daerah di negeri ini yang memiliki masalah identik. Orang tua
wali melaporkan guru ke penegak hukum karena tidak terima dengan tindakan guru
di sekolah dalam memberikan sanksi pada putra putrinya karena melakukan
kesalahan di sekolah. Haruskah urusan semacam ini berakhir di meja hakim ?!
Sungguh
Allah ta’ala mengamanahkan keturunan pada para orang tua bersamaan dengan hak
dan kewajiban yang harus ditunaikan pada anak. Telah disebutkan dalam hadits yang telah
ditakhrij oleh Imam Ibnul Mubarok (dalam Al-birr dan Shilah) dan Imam Aby
Dunya, bahwa Nabi mengatakan: ‘Hak anak atas orang tuanya yaitu memberikan
nama yang baik, mengajarkannya baca tulis, dan menikahkannya ketika sudah usia
baligh (pubertas).
Hadits
di atas mengajarkan bahwa orang tua punya tiga kewajiban pada putra – putrinya,
yakni : memberi nama yang baik, memberikan pendidikan yang baik serta
menikahkan dengan jodoh / pasangan yang baik jika telah tiba waktunya.
Pada sisi
lain Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka.” (QS. At-Tahrim [66]: 6).
Imam Thabari
meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu menafsirkan
ayat ini sebagai perintah untuk mengajarkan akhlak dan ilmu kepada keluarga
(anak dan istri). Hal ini menegaskan kewajiban orang tua (ayah) untuk mendidik
putra – putrinya (dan istrinya). Khususnya membekali dengan ilmu agama, seperti
tauhid, syariat, fiqh ibadah dan pengetahuan lainnya (pengetahuan atau
keterampilan) yang dibutuhkan oleh anak – anaknya agar dapat mengarungi
kehidupan dunia dengan baik.
Namun orang
tua memiliki keterbatasan, baik keterbatasan pengetahuan, keterbatasan keterampilan
hingga keterbatasan waktu. Hingga orang tua pun mengirim putra – putrinya untuk
menuntut ilmu ke sekolah. Belajar pada orang yang dapat memberi ilmu (guru),
termasuk belajar untuk taat dan disiplin pada peraturan. Belajar bersosialisasi
dengan lingkungan, guru, teman dan orang lain di sekolah seperti tenaga
kependidikan, pedagang/penjual makanan di kantin sekolah dan lain – lain. Hal
ini yang perlu diingat kembali olah para orang tua, bahwa mereka mengirim
putranya ke sekolah agar dididik oleh guru sebagai orang tua di sekolah !
Para guru juga
perlu memahami bahwa mereka diamanahi untuk mendidik siswa – siswinya
selayaknya mereka mendidik putra – putrinya. Mengajarkan ilmu yang kelak akan
menjadi amal jariyah bagi para guru, sebagaimana hadits Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ”Apabila
anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini:
sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan
yang di manfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan dia.” (HR Muslim)
Para
penuntut ilmu (pelajar) pun harus menyadari bahwa menuntut ilmu adalah perbuatan
yang mulia, bahkan Agama Islam menetapkannya sebagai suatu kewajiban. Allah ta’ala berfirman artinya, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
“Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah : 11)
Dan
Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda
artinya, "Menuntut ilmu itu wajib
atas setiap Muslim" (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin
Malik ra)
Agar
perbuatan baik dapat dijalani dengan baik, maka seyogyanya diniatkan dengan
niat yang baik. Rasul Shalallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, artinya : “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang
hanya mendapatkan sesuai niatnya.
Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin
dia capai atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke
mana ia hijrah.” (HR. Imam Bukhari)
Penting bagi para penuntut ilmu untuk meluruskan niat. Bahkan
Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam mengingatkan dalam haditsnya yang artinya: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang
dengannya dapat memperoleh keridhoan Allah ta’ala, (tetapi) ia tidak
mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan duniawi, maka ia tidak akan
mendapatkan harumnya surga di hari kiamat nanti.” (HR
Abu Daud).
Ada nasehat
bijak dari Syaikh Az-Zarnuzi dalam buku Ta’limul muta’alim berkaitan dengan
niat ini : ”Seorang penutut ilmu
hendaknya mempunyai niat untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala, agar mendapat
pahala kelak di akhirat, menghilangkan kebodohan yang ada pada dirinya dan
kebodohan orang-orang yang masih bodoh, serta berniat menghidupkan dan melanggengkan
agama Islam.”
Selain itu, agar ilmu yang dipelajari mendatangkan keberkahan
perlu memperhatikan adab atau akhlaq saat menuntut ilmu. Sebagaimana nasehat
tentang adab terhadap guru menurut Imam al-Ghazali,
yakni :
1.
Mendahului
beruluk (mengucapkan) salam,
2.
Tidak
banyak berbicara di depan guru (sok tahu),
3.
Berdiri
ketika guru berdiri,
4.
Tidak
mengatakan kepada guru, “Pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda”(tidak
langsung menyangkal penjelasan guru),
5.
Tidak
bertanya-tanya kepada teman duduknya ketika guru di dalam majelis (sebaiknya
bertanya langsung pada guru jika ada hal yang tidak dimengerti),
6.
Tidak
mengumbar senyum ketika berbicara kepada guru (guru tidak sama dengan teman,
hendaknya tidak tertawa / senyum berlebihan),
7.
Tidak
menunjukkan secara terang-terangan karena perbedaan pendapat dengan guru (tidak
berbeda pendapat secara frontal),
8.
Tidak
menarik pakaian guru ketika berdiri,
9.
tidak
menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan hingga guru sampai di rumah, dan
10.
Tidak
banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah.
Khatimah
Sungguh
para pelajar, mahasiswa, santri hari ini adalah generasi penerus ummat di masa
depan. Allah ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya yang artinya,”Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” (QS. An nisa : 9)
Agar
tidak meninggalkan genarasi yang lemah maka perlu kerjasama semua pihak untuk
mendidik generasi penerus, kerjasama antara orang tua, guru, sekolah,
masyarakat, serta Pemerintah. Setiap pihak harus sadar tentang hak dan kewajibannya
masing – masing dan saling berkontribusi dalam proses. Dan bukan berebut untuk
menuntut hak tapi melalaikan kewajiban.
Posting Komentar untuk "AKHLAQ MENUNTUT ILMU"