Syafa'at Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
Bulan Rabiul Awwal adalah bulan yang istimewa karena di bulan ini pada tanggal 12 di tahun Gajah telah lahir Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam. Beliau diutus Allah ta’ala untuk menyempurnakan akhlak, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta, contoh suri tauladan terbaik bagi manusia, penyempurna syariat yang dibawa para nabi dan rasul terdahulu, serta penutup para (nabi dan rasul) sekaligus sebagai pemberi syafat di yaumil akhir kelak.
Kata syafaat (شَفَاعَة)
berasal dari kata dasar syafa'u (الشَّفْعُ) yang berarti menjadi genap,
kebalikan dari witru (الْوِتْرُ) yang berarti ganjil. Prof.
Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag. mengutip pendapat dua ulama besar menyampaikan
bahwa menurut al-Jurjani
(dalam al-Ta`rīfāt)
syafaat adalah permohonan seseorang untuk mendapatkan
pengampunan dosa-dosa yang telah diperbuatnya.
Sedangkan menurut Sayid Muhammad Alwy al-Maliky
(dalam Mafāhim
Yajibu an-Tushahhah), syafaat tak lain adalah doa. Dan setiap doa
pasti diperkenankan, ditetapkan, dan diterima terutama bila si pendoa itu para
Nabi dan orang-orang saleh, baik di dunia sekarang ini, maupun setelah kematian
mereka di alam kubur atau pada hari kiamat nanti.
Jadi, pemilik syafaat adalah Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim.
Kemudian, Allah memilih hamba yang diridhai, untuk mensyafaati hamba-hamba
lainnya, guna mendapat ampunan dan rahmat Allah ta’ala.
Syafa’at ini
bisa diperoleh dengan tiga syarat :
1. Keridhaan Allah ta’ala terhadap yang memberi syafa’at
(syafi’)
2. Keridhaan Allah ta’ala terhadap yang diberi syafa’at
(masyfu’ lahu)
3. Izin Allah ta’ala bagi syafi’ untuk memberi syafa’at.
Syafaat dapat
digambarkan kurang lebih sebagai berikut : Si A memiliki hajat untuk membangun mobil.
Dia tidak memiliki dana yang cukup. Oleh karena itu, agar bisa mencukupi
kebutuhannya dia ingin meminjam uang pada si B yang terkenal kaya di daerahnya.
Namun, si A ini tidak begitu akrab dengan si B sehingga dia meminta si C untuk
jadi perantara. Akhirnya, si C mengantarkan si A pada si B sehingga keperluan
si A terpenuhi.
Maka Si A yang mendapatkan pertolongan adalah masyfu’ lahu. Si C sebagai perantara di sini disebut dengan syafi’. Si B sebagai pemilik syafaat
yang mengijinkan pemberian pertolongan tersebut. Jadi pada dasarnya proses ini
bisa terjadi karena B ridha pada A dan C serta setuju untuk membantu.
Hal ini secara mujmal terdapat dalam firman Allah ta’ala yang artinya,
“Siapakah yang
dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS.
Al-Baqarah : 255)
“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali
(syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia
telah meridhai perkataan-Nya“. (QS. Thaha : 109)
“Mereka tidak bisa memberi syafa’at kecuali
kepada orang yang diridhai oleh Allah“. (QS. Al-Anbiya : 28)
Para ulama membagi syafa’at ini menjadi dua.
Pertama : Syafa’at ‘Ammah
(syafa’at yang bersifat umum). Arti umum disini bahwa Allah ta’ala mengizinkan
siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hambaNya yang shalih untuk memberikan
syafa’at kepada orang yang juga diizinkan oleh Allah untuk memperoleh syafa’at.
Syafa’at semacam ini bisa didapatkan dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam
dan selain beliau, baik dari para Nabi yang lain, shidiqqin, syuhada’ dan
shalihin. Bisa berupa syafa’at kepada penghuni neraka dari kalangan orang
beriman yang bermaksiat agar mereka bisa keluar dari neraka.
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda artinya,“…Dan apabila mereka (orang-orang mukmin) melihat bahwa
diri mereka telah selamat, mereka berkata tentang saudara-saudara mereka, Wahai
Rabb kami, tolonglah saudara-saudara kami, mereka dulu shalat, puasa dan
berbuat kebaikan bersama kami. ‘Lalu Allah berfirman, ‘Masuklah ke neraka, sesiapa yang kalian
dapati memiliki iman sebesar dinar, maka keluarkanlah ia.’ Lalu Allah
membuat mereka tidak dapat tersentuh api, dan mereka pun mendatangi
saudara-saudara mereka di neraka. Sebagian mereka ada yang tubuhnya masuk ke
neraka sampai kaki, ada juga yang sampai betis. Mereka pun mengeluarkan
arang-orang yang mereka kenal, lalu keluar.
Allah berfirman lagi, ‘Masuklah, sesiapa yang kalian dapati memiliki iman
sebesar setengah dinar, maka keluarkanlah ia.’ Mereka pun mengeluarkan
orang-orang yang mereka kenal, lalu kembali. Allah kembali berfirman, ‘Masuklah,
sesiapa yang kalian dapati memiliki iman sebesar debu, maka keluarkanlah Ia.‘ Dan mereka
pun mengeluarkan orang-orang yang mereka kenal.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Kedua : Syafa’ah Khasshah
(syafa’at yang bersifat khusus). Syafa’at ini khusus dimiliki oleh Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi wa
Sallam dan merupakan syafa’at yang
paling agung. Syafa’at yang paling agung ini adalah syafa’at pada hari kiamat
ketika manusia tertimpa kesedihan dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul,
kemudian mereka meminta orang yang bisa memohonkan syafa’at kepada Allah Azza
wa Jalla untuk menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian itu.
Syafaat terbesar (syafā`at `udzmā), yang hanya dimiliki Nabi Muhammad,
adalah percepatan pengadilan di hari kiamat. Semua manusia (mulai Nabi Adam)
mendapat limpahan syafaat terbesar ini. Dalam hadits riwayat Bukhari dan
Muslim, kelak di akhirat seluruh manusia dikumpulkan di padang mahsyar menunggu
pengadilan Allah ta’ala. Masa menunggu ini sangat lama, sementara matahari
begitu dekat dengan ubun-ubun, sehingga manusia benar-benar dalam puncak
penderitaan, kesedihan, dan ketakutan. Beliau bersabda yang
artinya, “Setiap Nabi memiliki doa [mustajab] yang digunakan untuk berdoa
dengannya. Aku ingin menyimpan doaku tersebut sebagai syafaat bagi
umatku di akhirat nanti” (HR. Bukhari).
Lalu, siapakah yang bisa mendapatkan syafaat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam? Dan apa yang harus dilakukan untuk mendapatkannya? Syarat pertama
untuk mendapatkan syafaat adalah mengucapkan Lâ ilâha illallâh. Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh shahabat Abu
Hurairah, “Wahai Rasulullah, siapakah
orang yang paling bahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasul menjawab, “Yang paling berbahagia dengan
syafaatku nanti pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan ‘Lâ ilâha illallâh‘
dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari)
Khatimah
Sungguh sangat beruntung menjadi umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam yang lemah lembut dan kasih sayang terhadap makhluk Allah. Sungguh
beliau adalah teladan terbaik sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,”Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21).
Maka Maha
Benar Allah ta’ala yang memerintahkan ummat manusia agar mengikuti Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, sebagaimana
firmann-Nya yang artinya,”Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.” (QS. Al Hasyr : 7).
Bagaimana
mungkin seseorang mengharap syafaat Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam di hari akhir namun ia enggan ittiba’
(mengikuti) Rasulullah. Maka tidak ada jalan mendapatkan syafaat beliau kecuali
beriman pada Allah ta’ala serta
mengikuti tuntunannya dalam segala aspek kehidupan. Menjalankan hukum syariat
yang dibawa oleh Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam, baik dalam
urusan ibadah seperti sholat, haji, puasa dan lainnya maupun urusan muamalah semacam meninggalkan riba, menunaikan
zakat, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan sebagainya.

Posting Komentar untuk "Syafa'at Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam"