REZEKI
Urusan rezeki ini selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, namun suasana masyarakat yang kapitalistik nan sekuler saat ini kadang menyebabkan diskusi masalah ekonomi meninggalkan pemikiran aqidah dan hukum Islam. Pada perspektif aqidah Hanya Allah yang memberi rezeki. Tidak ada yang menandingi Allah dalam hal ini.
Allah ta’ala
berfirman dalam banyak ayat, diantaranya :
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezkinya” (TQS. Huud: 6)
“Hai manusia, ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada ilah
(sesembahan yang berhak) selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari
ketauhidan)?” (TQS. Fathir: 3).
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah simpanannya;
dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
(TQS. Al Hijr: 21).
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus)
rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. Al Ankabut: 60).
Ayat-ayat tentang Ar-Rizqu (rezeki)
lebih banyak menunjuk pada harta baik berupa barang maupun jasa yang bisa
dimanfaatkan untuk memenuhi aneka kebutuhan manusia. Konteks ayat-ayat bahwa
Allah meluaskan dan menyempitkan rezeki juga lebih menunjuk pada konotasi
harta.
Banyak orang menduga, merekalah yang mendatangkan rezeki mereka
sendiri. Mereka menganggap kondisi-kondisi mereka meraih harta—barang atau
jasa–sebagai sebab datangnya rezeki; meskipun mereka menyatakan, bahwa Allahlah
Yang memberikan rezeki. Profesi atau usaha yang dicurahkan mereka anggap
sebagai sebab datangnya rezeki.
Realitas yang bisa dilihat banyak orang jual tahu di pasar yang
sama namun mendapatkan hasil yang berbeda – beda. Ada puluhan sopir bus yang
bekerja di rute yang sama dan bekerja pada durasi waktu yang sama mendapatkan
hasil yang berbeda pula. Ini semua adalah fakta bahwa Allah lah yang menetapkan
rejeki tiap – tiap hamba-Nya. Cara berusaha bisa ditiru namun pendapatan tidak bisa di copy
paste.
Banyak orang yang telah berusaha dengan segenap tenaga dan
pikirannya, tetapi rezeki tidak datang, bahkan tidak jarang justru merugi.
Sebaliknya, sangat banyak fakta bahwa rezeki datang kepada seseorang tanpa dia
melakukan usaha apapun. Ini menunjukkan bahwa usaha bukan sebab bagi datangnya
rezeki. Rezeki tidak berada di tangan manusia. Allahlah yang menentukan rezeki
itu datang kepada manusia dan Dia memberinya kepada manusia menurut kehendak-Nya.
Kaya Bukan Tanda Mulia
Ar-Rizqu (Rezeki) setiap hamba telah dijamin oleh Allah. Allah pun
telah menetapkan kadar dan takaran bagian atau porsi rezeki tiap hamba. Imam
Muslim meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa pada usia kandungan 120 hari, Allah ta’ala mengutus malaikat untuk menuliskan beberapa ketetapan atas janin
itu, termasuk ketetapan rezeki dan ajalnya. Para ulama menjelaskan, yaitu ketetapan sedikit dan banyaknya
rezeki. Sedikit dan banyaknya rezeki atau kaya dan miskinnya seorang hamba
tidak akan dihisab oleh Allah karena itu semata adalah ketetapan Allah.
Allah ta’ala meluaskan
dan menyempitkan rezeki seorang hamba sesuai kehendak-Nya. Itu adalah ujian
bagi hamba-Nya. Kaya dan miskin tidak bersifat baik atau buruk dengan
sendirinya; juga tidak menentukan mulia dan hinanya seseorang. Karena orang
kafir saja Allah beri rizki, begitu pula dengan orang yang bermaksiat pun Allah
beri rizki. Jadi rizki tidak dibatasi pada orang beriman saja. Hal ini bentuk
Ar Rahman atau kasih sayang Allah. Dia memberikan karunia dan kesempatan yang
sama pada semua hamba-Nya di dunia, baik yang taat maupun yang ingkar.
Justru sifat
orang-orang yang tidak beriman yang menjadikan tolak ukur kaya dan miskin
sebagai ukuran mulia ataukah tidak. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا
نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ (35) قُلْ
إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (36) وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي
تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ
آَمِنُونَ (37)
“Dan mereka berkata: “Kami lebih
banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan Kami sekali-kali
tidak akan diazab. Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi
siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya).
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dan sekali-kali bukanlah
harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit
pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka
itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah
mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam
syurga).” (QS. Saba’: 35-37)
Bukanlah
banyaknya harta dan anak yang mendekatkan diri pada Allah, namun iman dan
amalan sholeh. Sebagaiman dalam surat Saba’ di atas disebutkan, “Dan sekali-kali bukanlah
harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit
pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.”
Penjelasan
dalam ayat ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak
melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal
kalian” (HR. Muslim no. 2564, dari Abu Hurairah)
Kaya bisa
saja sebagai istidroj dari Allah, yaitu hamba yang suka
bermaksiat dibuat terus terlena dengan maksiatnya lantas ia dilapangkan rizki.
Miskin pun bisa jadi sebagai adzab atau siksaan atas kemaksiatan yang dilakukan.
Semoga kita bisa merenungkan hal ini.
Perintah untuk Berusaha
Rezeki berbeda dengan kepemilikan. Kepemilikan
adalah penguasaan sesuatu dengan tatacara yang diperbolehkan syariah untuk
menguasai harta. Jadi, rezeki itu mencakup rezeki yang halal maupun yang haram.
Inilah yang menjadi pendapat Ahlus Sunnah sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam
al-Qurthubi. Semuanya dikatakan sebagai rezeki. Harta yang diambil penjudi dari
lawannya dalam perjudian adalah rezeki. Sebab, rezeki yang halal ataupun haram
itu adalah harta yang diberikan oleh Allah ketika seseorang berbuat untuk
melangsungkan kondisi yang di dalamnya bisa diperoleh rezeki.
Allah ta’ala mewajibkan hamba-Nya untuk berusaha dan berikhtiar melangsungkan
kondisi-kondisi yang di dalamnya rezeki bisa datang. Berusaha dalam berbagai
cara namun tetap dalam koridor syara’. Berusaha dengan sebab – sebab
kepemilikan yang dibenarkan syariat dan meninggalkan cara – cara yang
diharamkan, seperti mencuri, korupsi, berjudi, menipu, memakan harta anak
yatim, transaksi riba dan lain – lain. Allah tidak menanyakan tentang datang
dan tidaknya rezeki, tetapi Allah akan menanyakan usaha dan amal hamba untuk
mencari rezeki. Karenanya, Allah menjelaskan mana yang halal dan Haram.
Khatimah
Rasul Shalallahu Alaihi wa
Sallam bersabda yang artinya,“Sebaik-baik pemimpin
kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian.
Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin
kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga
kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian seseorang
mengatakan. ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka dengan pedang?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih
mendirikan salat di antara kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian
sesuatu yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kalian
melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855)
Hadis tersebut memberikan pelajaran tentang
pentingnya saling berperilaku positif antara penguasa dan rakyatnya. Hubungan harmonis antara
pemimpin dan rakyat adalah tanda bahwa pemimpin tersebut menjalankan tugasnya
dengan baik dan adil, serta memimpin dengan cara yang membawa kebaikan bagi
semua. Dalam hal ini Pemimpin Ummat juga bertanggung jawab untuk menciptakan
kondisi yang kondusif bagi rakyatnya agar dapat berusaha dan bekerja untuk
menafkahi diri dan orang – orang dalam tanggungannya. Bukan sekedar membuka
lapangan kerja atau usaha namun pekerjaan dan usaha yang dihalalkan oleh
syara’.
.jpg)
Posting Komentar untuk "REZEKI"