Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BERIMAN PADA TAKDIR

Manusia dalam kesehariannya menemui berbagai kondisi dan kejadian. Ada kalanya menyenangkan seperti menang dalam pertandingan, mendapatkan promosi jabatan, naik gaji dan sebagainya. Namun kadang pula mendapatkan peristiwa yang menyesakkan, misalnya kecelakaan, sakit, gagal dan seterusnya. Dan semua hal tersebut perlu disikapi dengan proporsional sesuai tuntunan agama ini.

Sebuah hadits Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam yang artinya, “Jibril ‘alaihis salaam bertanya, “Kabarkanlah kepadaku, apa itu iman?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,“Engkau beriman kepada (1) Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab-kitabNya, (4) para Rasul-Nya, (5) hari akhir, dan beriman kepada (6) takdir, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.” (HR. Muslim no. 8)

Hadits ini menerangkan tentang Rukun Iman yang enam, termasuk diantaranya tentang takdir. Yaitu perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman.

Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qamar: 49)

 “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan: 2)

 “Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS. Al-Hijr: 21)

Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda artinya, “Tidak beriman seorang hamba sampai dia beriman kepada takdir baik dan takdir buruk, sampai ia meyakini bahwa apa yang menimpanya tidak mungkin meleset darinya, dan apa yang meleset darinya tidak mungkin ia dapatkan.” (HR Ahmad dan At Tirmidzi)

Semua takdir itu baik. Ada hikmah di balik itu. Yang merasakan jelek adalah manusia. Allah itu sama sekali tidak berbuat jelek. Takdir Allah tidaklah kejam. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, Aku begitu takjub pada seorang mukmin. Sesungguhnya Allah tidaklah menakdirkan sesuatu untuk seorang mukmin melainkan pasti itulah yang terbaik untuknya.” (HR. Ahmad).

Mengapa Allah menakdirkan kejelekan? Karena ada hikmah di balik itu, diantaranya agar kebaikan dapat dikenal, supaya manusia menyandarkan diri kepada Allah, supaya manusia bertaubat kepada-Nya setelah ia berbuat dosa, banyak meminta perlindungan kepada Allah dari keburukan dengan berdzikir dan berdoa, ada maslahat besar di balik kesulitan atau musibah yang menimpa.

Selain itu bisa jadi yang jelek itu baik untuk kita. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Allah ta’ala yang lebih mengetahui akibat terbaik setiap perkara. Allah yang Maha Tahu yang paling maslahat untuk urusan dunia dan akhirat kita. Sedangkan kita sendiri tidak mengetahui yang terbaik dan yang jelek untuk kita.

Kadang timbul pertanyaan diantara manusia misalnya,

1.      Jika manusia menulis, kemampuan menulis itu atas kehendak siapa? Kehendak Tuhan atau kehendak manusia?

2.      Jika manusia sholat, itu atas kehendak siapa? Kehendak Allah atau kehendak manusia?

3.      Jika manusia mencuri, itu kehendak siapa? Kehendak Allah atau kehendak manusia?

Di kalangan Ummat Islam, permasalahan qadha dan qadar telah memainkan peranan penting dalam mazhab-mazhab Islam terdahulu. Sejarah mencatat, ummat Islam akhirnya terbelah menjadi 2 kelompok ekstrim.

Golongan mu’tazilah dan qodariyah

Kelompok ini memahami bahwa manusia itu memiliki kebebasan berkehendak. Manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendiri yang menciptakannya.

Golongan jabariyah

Kelompok ini memahami bahwa manusia itu tidak memiliki kebebasan, semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah. Jadi Allah menciptakan manusia beserta perbuatannya. Manusia “ dipaksa “ melakukan perbuatannya dan tidak bebas memilih, yang diibaratkan seperti bulu yang diterbangkan angin kemana saja.

Namun apabila kita mengamati seluruh perbuatan manusia, akan kita jumpai bahwa fakta perbuatan manusia itu berada dalam 2 area:

1.      Ada Wilayah yang dikuasai manusia, yang berada di bawah kekuasaan manusia dan semua perbuatan/kejadian yang muncul berada dalam lingkup pilihannya sendiri. Dalam area ini, perbuatan manusia akan dihisab oleh Allah ta’ala. Apabila sesuai syariat, akan mendapatkan pahala dan jika melanggar syariat Allah maka akan mendapat siksa.

2.      Ada wilayah yang menguasai manusia, yang di dalamnya tidak ada campur tangan manusia sedikitpun, baik perbuatan/ kejadian itu berasal dari manusia atau yang menimpanya. Yang kejadian- kejadian di dalam area ini dibagi menjadi:

a)      Terikat / ditentukan oleh nizhamul wujud – sunnatullah. Semua kejadian pada bagian ini muncul tanpa kehendak manusia. Ia terpaksa diatur dan tidak bebas memilih. Misalnya: manusia datang dan meninggalkan dunia ini tanpa kemauannya. Ia tidak dapat menciptakan warna biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya.

b)      Di luar/ tidak ditentukan oleh nizhamul wujud. Semua kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya, yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk menolak. Misalnya: Orang yang menembak burung tapi secara tidak sengaja mengenai seseorang hingga mati.

Jadi segala kejadian yang terjadi pada area yang menguasai manusia inilah yang dinamakan Qadha (keputusan Allah). Oleh karena itu, manusia tidak dihisab atau dimintai pertanggungjawaban atas kejadian ini, betapapun besar manfaat /kerugiannya; disukai/dibenci; baik/buruk menurut tafsiran manusia. Manusia tidak tahu-menahu tentang hakekat dan asal muasal kejadian serta sama sekali tidak mampu menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha yang hanya berasal dari Allah ta’ala.

 

Khatimah

Pembahasan yang benar dalam masalah qadha dan qadar akan menjadikan kita mampu menempatkan diri secara tepat. Bahwa qadha dan qadar adalah perbuatan hamba yang terdapat di dalam lingkaran yang menguasainya dan seluruh khasiyat yang ditimbulkan pada sesuatu. Dan terhadap kejadian-kejadian yang menimpa kita, harus kita imani bahwa itu adalah ketentuan Allah.

Jika kejadiannya menyenangkan, harus kita syukuri. Jika kejadiannya menyusahkan, kita harus bersabar. Semuanya harus kita kembalikan kepada Allah ta’ala“Sungguh menakjubkan perkara seorang muslim, sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik. Dan hal ini tidak terjadi pada seseorang kecuali pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Apabila ia mendapat kesusahan ia bersabar dan itupun baik baginya.” (HR. Muslim)

Adapun seluruh perbuatan berada dalam lingkaran yang dikuasai manusia merupakan area yang di dalamnya manusia diberikan kebebasan/pilihan (ikhtiar) dalam melakukan perbuatannya. Tentunya dengan menggunakan khasiyat akal untuk memahami dan mempertimbangkannya, apakah sesuai dengan perintah ataupun larangan Allah ta’ala. Sehingga manusia lebih waspada terhadap perbuatan-perbuatan yang berasal dari kehendak bebasnya. Karena perbuatan itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ta’ala“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS: Al-Muddatstsir Ayat: 38)

Wallahua’lam bisawab.

Posting Komentar untuk "BERIMAN PADA TAKDIR"