Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidup Sebagai Ibadah

Kondisi masyarakat yang kapitalistik dan sekuler cukup kuat mempengaruhi pemikiran kaum muslimin. Bahkan dalam kondisi tertentu seorang muslim bahkan tidak sadar mulai kehilangan pemikiran Islam dan sisi ruhiyahnya. Ada seorang yang berkata,”Bekerja koq ibadah. Kerja ya untuk cari duit.” Atau seorang pedagang yang berpikir “Berjualan tujuannya adalah mencari untung sebesar besarnya dengan modal sekecil kecilnya.”

Dan masih banyak pernyataan atau pemikiran lain yang tanpa sadar menunjukkan bahwa seseorang telah mulai kehilangan ruhiyahnya dan hanya mengurusi urusan dunianya saja. Sungguh Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur urusan manusia akan hubungan dengan Tuhannya, Hubungan manusia dengan sesamanya serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Islam memiliki dua sisi sekaligus, yakni akidah siyasiyah sekaligus ruhiyah. Ini karena ia sanggup melahirkan pemikiran dan hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan akhirat, serta pemikiran dan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keduniaan. Konsep ini yang membedakan Islam dengan agama lain yang hanya memiliki sisi ruhiyah atau aturan hubungan manusia dengan Tuhannya saja.

Dalam Islam, hidup bukanlah sekadar menjalani rutinitas harian atau mengejar kesenangan dunia semata. Allah ta’ala berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” ( Terjemah QS. Az-Zariyat: 56)

Ayat ini menunjukkan bahwa inti dari makna hidup seorang muslim adalah untuk beribadah kepada Allah. Terdapat dua aspek utama: ibadah ritual (seperti salat, puasa) dan ibadah yang lebih luas, yaitu seluruh aktivitas hidup yang dilakukan dengan niat untuk mencari ridha Allah ta’ala. Semua aspek kehidupan, mulai dari pekerjaan hingga hubungan sosial, dapat menjadi ibadah asalkan dilakukan dengan tulus, ikhlas, dan sesuai dengan ajaran Islam. Jadi aktivitas seperti menafkahkan harta untuk keluarga, mendidik anak, bersikap baik kepada sesama, bahkan menyingkirkan duri dari jalan adalah bentuk-bentuk ibadah. 

Islam mengajarkan bahwa segala amal perbuatan tergantung pada niatnya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan memperbaiki niat, seseorang bisa mengubah aktivitas duniawi menjadi amalan yang bernilai akhirat. Contohnya, bekerja tidak semata-mata untuk mendapatkan penghasilan, tetapi juga untuk menafkahi keluarga. Sungguh bekerja untuk menafkahi keluarga adalah salah satu hal yang di wajibkan kepada laki – laki yang sudah baligh atau sudah bekeluarga. Dan berbuat dalam rangka memenuhi kewajiban yang disyariatkan agama adalah bagian dari ibadah.

Pemenuhan nafkah keluarga merupakan kewajiban bagi seseorang yang mengemban sebagai tulang punggung keluarga. Pemenuhan nafkah keluarga diharuskan bersumber dari jalan yang halal. Pemenuhan nafkah keluarga yang melelahkan itu mengandung keutamaan yang besar. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam berbagai riwayat mengapresiasi orang-orang yang menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

Rasulullah menyebutkan bahwa makanan yang dikonsumsi oleh anggota keluarganya dari jerih payahnya bernilai sedekah. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya, “Nafkah yang diberikan seorang kepala rumah tangga kepada keluarganya bernilai sedekah. Sungguh, seseorang diberi ganjaran karena meski sesuap nasi yang dia masukkan ke dalam mulut keluarganya,” (HR Muttafaq alaih).

Allah ta’ala berfirman yang artinya,“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf” (QS. Al-Baqarah [2]: 233). Imam Ibnu Katsir menjelaskan, diwajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang ibu anaknya dengan cara yang makruf, yakni menurut tradisi (standar ekonomi) yang berlaku bagi semisal mereka di negeri yang bersangkutan tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu minim.

Islam mendorong umatnya untuk hidup dengan prinsip ihsan, yaitu melakukan sesuatu sebaik mungkin seolah-olah kita melihat Allah dan jika tidak bisa, yakinlah bahwa Allah melihat kita. Hidup dengan ihsan membuat setiap tindakan lebih bermakna, lebih berkualitas, dan lebih bertanggung jawab.

Islam memandang dunia sebagai ladang untuk akhirat. Setiap detik kehidupan adalah kesempatan untuk menanam amal. Dengan kesadaran akan kematian dan kehidupan setelahnya, seorang muslim akan lebih berhati-hati dalam berperilaku dan lebih termotivasi untuk menjadikan hidupnya bermakna dan bernilai di sisi Allah.

Allah ta’ala berfirman dalam Surat Al-An’am ayat 162 : Qul inna ṣalātī wa nusukī wa maḥyāya wa mamātī lillāhi rabbil-'ālamīn yang artinya Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Ayat ini menegaskan bahwa seluruh aktivitas kehidupan seorang Muslim, mulai dari salat, ibadah, hidup, hingga mati, harus ditujukan hanya kepada Allah ta’ala. Hal ini menjadi fondasi utama dalam menjalani kehidupan yang seimbang antara dunia dan akhirat. Beramal dunia dengan orientasi akhirat. Beramal akhirat tanpa meninggalkan dunia. Caranya dengan senantiasa mengikatkan perbuatan diri agar sesuai tuntunan syara’. Sebagaimana kaeadah syara menyebutkan al-ashlu fî al-af’âl at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar’iy yang artinya hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariah.

Pandangan hidup yang diajarkan oleh akidah Islam adalah halal dan haram. Metode operasional untuk merealisasikan pandangan halal-haram tersebut dengan membangun keterikatan terhadap hukum syara. Oleh karenanya, pandangan tersebut selalu memandang kehidupan dengan standar halal dan haram. Apa saja yang halal, baik persoalan tersebut wajib, mandub (sunah), maupun mubah, maka akan diambil tanpa ragu. Sesuatu yang makruh akan diambil dengan rasa khawatir, sedangkan yang haram, tidak akan diambil sama sekali.

Ketaatan pada Allah dan Rasulullah serta keterikatan pada hukum syara’ ini merupakan bagian cermin dari pemahaman bahwa kehidupan di akhirat lebih baik dibanding kehidupan di dunia. Allah ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya di QS Ali ‘Imran ayat 14, “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).“

 

Khatimah

Jika hidup itu adalah ibadah, maka pastikan semua aktivitas kita adalah ibadah. Caranya ialah pertama selalu meniatkan aktivitas kita untuk ibadah serta memperbaharuinya setiap saat karena bisa berubah. Kedua, pastikan apa yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan (ibadah mahdhah) dan tidak dilarang oleh syariat (ghairu mahdhah).

Di sisi lain Jika kita tahu kehidupan akhirat itu lebih baik, maka kita harus memprioritaskan kehidupan akhirat. Bukan berarti meninggalkan kehidupan dunia, tetapi menjadikan kehidupan dunia sebagai bekal menuju akhirat.

Wallahu a’lam bi ashowab.

Posting Komentar untuk "Hidup Sebagai Ibadah"