Muslimah dan Ilmu Syariat
Pada upacara penganugerahan pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025), 10 tokoh dianugerahi pahlawan nasional melalui Keppres No. 116/TK Tahun 2025, salah satunya Rahmah El Yunusiyah dari Provinsi Sumatera Barat. Di kalangan ulama dan cendekiawan asal Minang, nama Rahmah El Yunusiyah begitu berkibar.
Putri
bungsu pasangan Rafi’ah dan Muhammad Yunus al-Khalidiyah bin Imanuddin
kelahiran Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang pada 26 Oktober 1900 itu
satu-satunya perempuan yang mampu mendobrak tradisi dengan mendirikan sekolah
khusus perempuan. Rahmah mulanya berguru pada ayahnya dan kakaknya, Zainuddin Labai
El Yunusi, yang pendiri Diniyah School.
Sepeninggal
sang kakak dan Diniyah School mengalami kemunduran, Rahmah mengambilalih pada
tahun 1916. Rahmah bahkan mulai menerima murid perempuan ketika mengajar di
surau di Jembatan Besi pada 1918. Butuh lima tahun bagi Rahmah hinggga dapat
mendirikan sekolah khusus perempuan, Diniyah Puteri, pada 1 November 1923.
“Di
antara yang turut belajar pada waktu itu ialah Rasuna Said. Boleh dikatakan
bahwa sebelum itu belumlah ada kaum perempuan yang belajar agama, nahwu, dan
sharaf, fiqih dan ushul-nya. Sebelum itu kaum perempuan baru belajar dalam
pengajian umum, mendengarkan tabligh guru-guru,” tulis Hamka dalam bukunya yang
lain, Ayahku:
Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di
Sumatera.
Ketika
Hamka berkunjung ke Mesir pada 1950, kabar mengenai Diniyah Puteri yang
didirikan Rahmah menjadi perbincangan di Mesir. Rektor Universitas Al-Azhar
Syekh Abdurrahman Taj sampai berkunjung ke Padang Panjang medio 1955 untuk
menengok sekolah tersebut.
Universitas
Al-Azhar kemudian mengundang Rahmah untuk berbalas kunjungan ke Mesir. Rahmah
menjawab undangan itu setelah menunaikan haji pada 1957. Oleh Universitas
Al-Azhar, Rahmah diberi gelar “Syekhah”. Universitas Al-Azhar sendiri baru
membuka kampus khusus perempuan, Kulliyatul Banat, pada 1962.
Keutamaan menuntut ilmu bagi Muslimah
Kisah perjuangan
Rahmah El Yunusiyah memberikan banyak inspirasi bagi ummat Islam negeri
ini, salah satunya perihal pentingnya menuntut ilmu bagi para wanita muslim.
Sesungguhnya, dalam menjalani berbagai perannya, peran wanita dapat dipetakan
menjadi tiga peran penting yaitu sebagai pribadi muslimah, sebagai istri, dan
sebagai ibu. Pada masing-masing peran, dibutuhkan ilmu yang dapat menjaganya
dari berbagai bentuk penyimpangan.
1. Sebagai pribadi
muslimah.
Seorang muslimah harus selalu
terikat dengan berbagai aturan agama yang menyangkut dirinya sebagai seorang
yang beragama Islam seperti kewajiban untuk merealisasikan rukun iman dan rukun
Islam serta aturan lain yang merupakan konsekuensi dari kedua hal tersebut
ataupun kewajiban yang terkait dengan kedudukannya sebagai seorang wanita
seperti larangan dan kewajiban pada masa haid, kewajiban menutup aurat, dan
sebagainya.
Seluruh hal tersebut memerlukan
ilmu sehingga kewajiban menuntut ilmu juga dibebankan kepada kaum wanita
sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
artinya “Mencari ilmu itu merupakan kewajiban bagi seorang muslim.” (HR
Ibnu Adi dan Baihaqi dari Anas radhiyallahu
anhu)
Al Hafizh Ibnul
Jauzi rahimahullah juga
berkata, “Sering aku menganjurkan kepada manusia agar mereka menuntut ilmu
syar’i karena ilmu laksana cahaya yang menyinari. Menurutku kaum wanita lebih
dianjurkan dibanding kaum laki-laki karena jauhnya mereka dari ilmu agama dan
hawa nafsu begitu mengakar dalam diri mereka. Kita lihat seorang putri yang
tumbuh besar tidak mengerti cara bersuci dari haid, tidak bisa membaca Al
Qur’an dengan baik dan tidak mengerti rukun-rukun Islam atau kewajiban istri
terhadap suami. Akhirnya mereka mengambil harta suami tanpa izinnya, menipu
suami dengan anggapan boleh demi keharmonisan rumah tangga serta
musibah-musibah lainnya.”
2. Sebagai istri.
Seorang istri memiliki kewajiban
untuk menaati suaminya dalam hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan terhadap Allah
swt. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
yang artinya, “Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat
maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Maka tidaklah seorang istri dapat mengetahui apakah suatu urusan merupakan
kemaksiatan atau bukan kecuali dengan ilmu syar’i. Di akhir zaman ini, ketika
keburukan banyak bertebaran di muka bumi yang membuat banyak orang hanyut dalam
lumpur dosa, maka seorang istri yang shalihah harus membekali dengan ilmu
syar’i agar dapat menjaga keistiqomahan dirinya dan suaminya serta keluarganya.
Dengan nasihat yang baik dan
kelemahlembutan yang dimiliki seorang wanita, seorang suami akan mampu
menemukan ketenangan dan kekuatan yang akan menjaga dirinya dan keluarganya
dari perbuatan-perbuatan dosa misalnya berbuat syirik dan bid’ah, berzina,
mencari nafkah yang haram, mengambil riba, dan perkara-perkara maksiat lainnya.
3. Sebagai Ibu.
Sebuah syair Arab mengungkapkan hal berikut, “Seorang ibu tak ubahnya bagai
sekolah. Bila kita mempersiapkan sekolah itu secara baik, berarti kita telah
mempersiapkan suatu bangsa dengan generasi emas.”
Seorang ibu yang cerdas dan shalihah tentu saja akan melahirkan keturunan
yang cerdas dan shalih pula, bi idzinillah.
Lihatlah hal itu dalam diri seorang shahabiyah yang
mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha,
ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang
merupakan pembantu setia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain cerdas, ia juga penyabar dan pemberani. Ketiga sifat mulia inilah yang
menurun kepada Anas dan mewarnai perangainya di kemudian hari.
Selain perjuagannya dalam bidang
pendidikan wanita, Rahmah El Yunusiyah juga memberikan contoh profil ideal
seorang muslimah. Di masa penjajahan Belanda dan Jepang ia sudah menutup aurat sebagaimana layaknya seorang muslimah. Hal
ini menunjukkan berjilbab bukanlah budaya Arab
dan bukan pula bentuk Arabisasi.
Jilbab adalah bagian syariat Islam bagi para muslimah. Sebuah kewajiban yang ditetapkan oleh
Allah ta’ala bukan saja pada wanita Arab namun juga pada muslim
Indonesia, melayu, eropa, cina dan siapapun yang mengaku beriman pada Allah dan
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Menutup aurat merupakan salah satu
perintah Allah ta’ala. Hal ini tidak hanya sekadar aturan, tapi juga untuk memperkuat
identitas seorang Muslim dan Muslimah. Ketika seseorang menutup auratnya, ia
menunjukkan bahwa ia memahami dan menerima ajaran Islam secara utuh. Bukan
sekadar soal pakaian, tapi ini juga menyangkut kesadaran spiritual.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, ”Katakanlah kepada laki-laki
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Q.S An-Nur 24:31).
Bagi seorang Muslim, menutup aurat
bukanlah sekadar menaati aturan, tapi juga sebuah bentuk ketaatan kepada Allah ta’ala. Saat seseorang menutup auratnya, berarti ia melakukan tindakan
yang menyatukan antara agama dan kehidupan sehari-hari. Ini adalah cara untuk
menjaga kesucian dan kemurnian diri dalam menjalani kehidupan di dunia yang
penuh dengan godaan.
Menutup aurat juga memperkuat ikatan
antara seorang hamba dengan agama dan sesama Muslim. Saat seseorang menjaga
auratnya, berarti tidak hanya terhubung dengan Allah ta’ala, tapi juga dengan sesama Muslim. Ini adalah bentuk solidaritas
dan kesatuan dalam menjaga nilai-nilai Islam. Dengan begitu, menutup aurat
bukanlah sekadar tindakan individu, tapi juga sebuah kontribusi dalam membangun
hubungan antar sesama yang berlandaskan nilai-nilai agama.
Hikmah lain yang dapat dipetik dibalik perintah menutup aurat adalah
menjaga ketertiban dan keharmonisan dalam masyarakat. Dengan menutup aurat,
seseorang tidak hanya melindungi diri sendiri, tapi juga menghormati hak-hak
orang lain. Ini membentuk suatu hubungan yang sehat antara sesama Muslim.

Posting Komentar untuk "Muslimah dan Ilmu Syariat"