Jaman Keemasan
Emas belakangan ini menjadi bahan pembicaraan menarik di masyarakat. Tren kenaikan harga emas dalam setahun terakhir telah menggelisahkan sebagian orang sekaligus menarik perhatian kalangan yang lain. Berdasarkan laporan pusatdata.kontan.co.id, harga emas telah naik hingga 41.60 % jika dibandingkan harga awal tahun 2025. Pada 14 Januari 2025 emas 1 gram seharga Rp 1.560.000,- sementara pada 14 Oktober 2025 harga emas menjadi Rp 2.360.000,- per gram.
Emas sering kali disebut sebagai simbol
kemuliaan, kekayaan, dan keindahan. Sebagai logam mulia yang bernilai tinggi,
emas tidak hanya memiliki makna material, tetapi juga spiritual. Dalam Al Qur’an emas disebutkan
dalam berbagai konteks yang menggambarkan keistimewaannya.
Perhiasan emas dalam Islam juga menjadi simbol
keindahan dan kesempurnaan ciptaan Allah ta’aa.
Dia menciptakan emas sebagai komoditas yang
istimewa karena nilai intrinsiknya. Emas juga dapat diterima dimanapun sebagai
sebuah komoditas ataupun sebagai alat tukar, berbeda dengan mata uang kertas di
masa kini yang memiliki nilai berbeda di tiap tempat bahkan terkadang ditolak
sebagai alat tukar transaksi di tempat tertentu.
Emas juga merupakan bagian dari peradaban Islam, terbukti
djadikannya dinar emas sebagai mata uang atau alat tukar resmi dalam masyarakat
Islam di masa kejayaan Islam. Di samping itu sejumlah syariat Islam juga menjadikan emas
sebagai ukuran, seperti nishab zakat maal sebesar minimal 85 gr emas, nilai
denda diyat pengganti qishash dan lain – lain.
Emas dalam Islam merupakan bentuk perhiasan yang
dihalalkan bagi umat manusia. Bagi wanita, emas diperbolehkan sebagai
perhiasan, tetapi dengan batasan tertentu sesuai syariat. Hal ini menunjukkan
bahwa emas dalam Islam memiliki nilai
estetika yang tinggi, namun tetap dalam koridor yang ditetapkan oleh agama.
Islam juga
mengingatkan bahwa perhiasan (harta) ini tidak boleh menjadi tujuan utama
hidup. Allah ta’aa berfirman yang artinya, ”Dan (Kami buatkan
pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain
hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu
adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Az Zukhruf : 35).
Emas sering dikaitkan dengan kemuliaan dan
kekayaan, namun bukan untuk alat menyombongkan diri atas kelebihan harta yang dimiliki dibanding orang lain. Harta
seharusnya menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, termasuk emas, perak dan sebagainya. Hal ini menunjukkan
bahwa emas dalam Islam memiliki nilai
spiritual yang tinggi, melebihi sekadar nilai materinya.
Islam mengingatkan ummat untuk tidak terlena oleh
gemerlap dunia. Kekayaan dan kemuliaan sejati terletak pada ketakwaan dan amal
baik. Allah ta’ala berfirman yang artinya, ”Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran : 14)
Islam mengingatkan bahwa kekayaan duniawi, termasuk
emas, bersifat sementara dan tidak abadi. Hal ini menjadi pengingat bahwa
kekayaan material hanyalah sarana, bukan tujuan utama. Islam tidak melarang memiliki emas sebagai kekayaan,
namun agama ini mengajarkan untuk mengelolanya dengan bijak. Kekayaan duniawi,
termasuk emas, harus dimanfaatkan untuk kebaikan dan membantu sesama.
Kekayaan
duniawi bisa menjadi berkah jika digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Sebagaiman Allah ta’ala berfirman
yang artinya, ”Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam
kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas
sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi
mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh
penolong.” (QS. Al Imran : 91)
Pada ayat
lain disebutkan, ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang
dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih” (QS. At Taubah : 34)
Prof. Dr.
Wahbah az-Zuhaili menjelasakan tentang ayat ini bahwa permulaan ayat ini turun terkait para alim dan orang yang suka
membaca dari ahli kitab, mereka melakukan korupsi terhadap orang di bawah
mereka, yaitu makanan yang mereka ambil dari orang-orang awam. Dan akhir surah
ini terkait ahli kitab dan orang-orang muslim yang menimbun harta benda mereka.
Orang-orang
yang menyimpan emas dan perak lalu menjadikannya sebagai harta simpanan atau
dikumpulkan sedikit demi sedikit tanpa mengeluarkan zakatnya, dan tidak
menafkahkan harta timbunannya untuk mencari keridhaan Allah, maka kabarilah dan
peringatkanlah mereka dengan azab yang sangat menyakitkan
Agar harta
(emas) tidak mendatangkan azab maka harta tersebut harus di dapatkan dengan
cara yang benar sesuai tuntunan syara dan dibelanjakan sesuai ketentuan
syariat. Pada prinsipnya, setiap transaksi keuangan haruslah berlandaskan pada
prinsip-prinsip syariah yang melarang unsur
riba (bunga), gharar
(ketidakpastian), dan maysir
(spekulasi atau perjudian). Emas, seperti halnya mata uang, memiliki aturan
ketat dalam jual belinya.
Mengutip Heni Verawati dari UIN Raden Intan Lampung pada https://lampung.nu.or.id, agar transaksi jual beli emas sesuai dengan syariah, beberapa
syarat harus dipenuhi:
1.
Tunai (Yadan bi
Yad)
Dalam transaksi jual beli emas,
pembayaran harus dilakukan secara tunai tanpa penundaan. Hal ini
berdasarkan hadis Rasulullah saw yang artinya,” ,”Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar
dengan gandum, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam, harus
sama dan serah terima langsung. Barang siapa menambah atau meminta tambahan,
maka ia telah melakukan riba.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadis tersebut mengingatkan agar dalam jual beli emas,
pembayaran dilakukan secara tunai untuk menghindari riba nasi'ah.
2.
Setara dalam
kualitas dan kuantitas
Dalam pertukaran antara emas dengan
emas, kualitas dan kuantitas harus sama. Namun, jika emas ditukar dengan
komoditas lain, aturan kesetaraan ini tidak berlaku, tetapi tetap harus
dilakukan secara tunai.
3.
Tidak ada unsur
spekulasi atau ketidakpastian
Islam melarang jual beli yang memiliki
unsur gharar atau ketidakpastian. Dalam jual beli emas, hal ini diterapkan
dengan memastikan bahwa baik penjual maupun pembeli mengetahui kualitas,
kuantitas, dan harga emas yang diperjualbelikan.
Khatimah
Emas dalam Islam bukan hanya sekadar simbol
kekayaan, tetapi juga memiliki nilai spiritual dan sosial. Sebagai aset, emas
diakui keamanannya dan nilainya yang stabil, menjadikannya pilihan investasi
yang tepat dan halal. Islam telah memberikan petunjuk yang jelas mengenai cara bertransaksi
menggunakan emas, termasuk pentingnya menghindari unsur riba, membayar zakat,
dan memanfaatkan harta dengan cara yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan
memahami dan menjalankan aturan syariah, umat Islam dapat memanfaatkannya
sebagai sarana investasi yang menguntungkan dan membawa berkah.
Posting Komentar untuk "Jaman Keemasan"