Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

NYANTRI SEPANJANG HAYAT

Gebyar Hari Santri Nasional begitu terasa di tahun ini. Agenda ini telah ditetapkan sejak tahun 2015 sebagai bentuk penghargaan atas jasa kaum santri serta untuk mengingat, meneladani dan melanjutkan perjuangan para ulama dan santri. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan santri  sebagai orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh.

Belajar atau menuntut ilmu guna mendalami pemahaman tentang agama Islam adalah kebutuhan bagi seorang muslim. Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Syahadatnya harus dibuktikan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan untuk melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari pengakuan keislaman itu membutuhkan ilmu.

Ilmu itulah yang akan mengantarkan manusia menuju kebaikan dunia akhirat. Berkata Imam Syafi’i, “Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia, maka hendaknya dengan ilmu. Dan barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat, maka hendaknya dengan ilmu.” (Manaqib Asy Syafi’i, 2/139)

Ilmu adalah kunci segala kebaikan. Ilmu merupakan sarana untuk menunaikan apa yang Allah wajibkan. Tak sempurna keimanan dan tak sempurna pula amal kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu Allah disembah, dengan Ilmu hak Allah ditunaikan, dan dengan ilmu pula agama-Nya disebarkan.

Hal yang disayangkan ternyata beberapa majelis ilmu sudah tidak memiliki daya magnet yang bisa memikat umat Islam untuk duduk di sana, meluangkan waktu mengkaji firman-firman Allah ta’ala dan hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian dari ummat ini lebih senang menyia-nyiakan waktu dengan aktivitas – aktivitas mubah, seperti menghabiskan waktu di instagram, twitter, atau media sosial lain dibandingkan duduk di majelis ilmu.

Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, salah satunya adalah karena umat belum mengetahui keutamaan dan keuntungan, mempelajari ilmu agama. Faktanya, jika seseorang tidak mengetahui keuntungan atau manfaat suatu hal maka ia tidak akan melakukan hal itu. Begitu juga dengan urusan ibadah. Maka dari itu, dengan belajar dan mengetahui keutamaan - keutamaan shalat, puasa, zakat ataupun syariat – syariat yang lain niscaya akan membangun semangat untuk menjalankannya.

Maka selayaknya ummat selalu memotivasi diri untuk melaksanakan perintah – perintah Allah dan Rasulullah. Termasuk menguatkan diri untuk istiqomah menjadi santri yang senantiasa menuntut ilmu guna mendalami ilmu – ilmu agama. Sungguh Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam telah memerintahkan ummatnya untuk menuntut ilmu sebagai bekal beraktivitas di dunia. Sebagaimana sabda beliau yang artinya: “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apalagi ibadahnya orang yang berilmu lebih utama daripada ibadahnya seorang muslim yang minim ilmu, sebagaimana sabda Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam yang artinya, Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu dibanding ahli ibadah, seperti keutamaan bulan di malam purnama dibanding seluruh bintang-bintang.” (HR.Abu Dawud (3641), Ibnu Majah (223)

 

Tantangan Era 5.0

Ilmu adalah pelita yang menerangi jalan. Dengan ilmu dan pemahaman yang benar akan membimbing manusia dengan langkah yang tepat. Berjalan lurus jika memang lurus, berbelok jika ada keburukan menantang di depan. Ilmu juga dapat menjadi bekal manusia menghadapi tantangan di tiap jaman, sebagaimana kata pepatah “setiap ummat ada jamannya, dan setiap jaman ada ummatnya”. Ummat yang hidup di jaman yang berbeda akan menghadapi tantangan yang berbeda pula.

Era 5.0 disebut sebagai konsep masyarakat yang berpusat pada manusia, di mana teknologi canggih seperti AI dan IoT ( Internet of Things) digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dan menyelesaikan masalah sosial, bukan hanya untuk efisiensi industri. Kemajuan teknologi informasi telah menjadi pisau bermata dua, pada satu sisi hal itu mendukung syiar Islam secara lebih luas dan lebih cepat, namun di sisi  yang lain juga menjadi alat bagi musuh – musuh Islam untuk menyebarkan pemikiran yang bertentangan dengan Islam atau opini yang melemahkan Islam.

Hari Santri Nasional ditetapkan untuk mengenang momen bersejarah Resolusi Jihad tahun 1945. Saat itu, ribuan santri bangkit melawan penjajahan. Mereka tak memegang mikrofon atau kamera, tapi bambu runcing dan tekad yang tak tergoyahkan. Namun setelah delapan dasawarsa berlalu tantangan jaman telah berubah. Bentuk “penjajahan” telah berubah rupa. Tidak lagi berupa senjata, tetapi berupa narasi yang menyesatkan.

Jika dulu ummat berhadapan dengan tentara asing, kini mereka menghadapi opini publik yang mudah terbentuk hanya karena potongan video, sebagaimana kasus tayangan “Xpose Uncensored”, hanyalah satu contoh dari banyaknya tontonan yang mencoba memutar makna—bahwa kesopanan dianggap kuno, dan adab dianggap ketinggalan zaman.

Tantangan ummat era ini adalah melawan “demonologi Islam” atau Perang Pemikiran (Ghazwul Fikri) yang mudah tersebar di tengah ummat berkat kemajuan teknologi informasi. Hal ini mengingatkan ummat tentang pentingnya ilmu agama Islam agar tetap kokoh menjaga keimanan serta urgennya menguasai teknologi informasi agar tidak gaptek yang malah menyebabkan gagap dalam mengantisipasi tantangan jaman.

Secara bahasa, ghazwul fikri terdiri dari dua suku kata yaitu ghazwah dan fikr. Ghazwah berarti serangan, serbuan atau invansi. Sedangkan fikr berarti pemikiran. Jadi, secara bahasa ghazwul fikri diartikan sebagai invansi pemikiran. Sebagian orang menyebut ghazwul fikr dengan istilah perang ideologi, perang budaya, perang urat syaraf, dan perang peradaban. Intinya, ia adalah peperangan dengan format yang berbeda, yaitu penyerangan yang senjatanya berupa pemikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda, dialog dan perdebatan.

Konon, orang yang pertama kali menyadari pentingnya metode baru dalam menaklukkan Islam adalah Raja Louis IX. Setelah ditawan oleh pasukan muslim di Al-Manshuriyah Mesir pada perang salib ke VII, di dalam memoarnya ia menulis: “Setelah melalui perjalanan panjang, segalanya menjadi jelas bagi kita. Kehancuran kaum muslimin dengan jalan konvensional (perang fisik) adalah mustahil. Karena mereka memiliki metode yang jelas dan tegas diatas konsep jihad fii sabilillah. Dengan metode ini, mereka tidak pernah mengalami kekalahan militer.” Ia melanjutkan: “Barat harus menempuh jalan lain (bukan militer). Yaitu jalan ideologi dengan mencabut akar ajaran itu dan mengosongkannya dari kekuatan, kenekatan dan keberanian. Caranya tidak lain adalah dengan menghancurkan konsep-konsep dasar Islam dengan berbagai penafsiran dan keragu-raguan.”

 

Khatimah

Sesungguhnya mencari ilmu merupakan salah satu jenis jihâd fî sabîlillâh, karena penuntut ilmu akan mampu membantah musuh-musuh agama dengan al-haq sehingga dapat mematahkan kebatilan mereka. Sebagaimana dapat disaksikan, terkadang ghazwul fikri itu lebih berbahaya dari pada peperangan bersenjata. Sebab, pengaruh pemikiran tersebut dapat menyusup ke setiap rumah dengan keinginan pemilik rumah sendiri, tanpa ada penolakan maupun perlawanan sedikit pun. Berbeda halnya peperangan militer, tidak dapat mengobrak-abrik rumah atau sebuah negara kecuali setelah melalui adu kekuatan yang panjang dan perlawanan sengit.

Maka setiap muslim hendaknya selalu menjadi santri yang senantiasa mendalami ilmu agama (Islam) sepanjang hayat. Ilmu sebagai bekal kehidupannya sekaligus modal melakukan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah perang pemikiran (ghazwul fikr).

Wallahu a’alam bi ashowab

Posting Komentar untuk "NYANTRI SEPANJANG HAYAT"